Langkah kaki Jakarta menuju masa depan kian terdengar senyap. Bukan karena kota ini kehilangan hiruk pikuknya, tetapi karena suara knalpot makin jarang terdengar. Mobil dan motor listrik perlahan menggantikan dominasi kendaraan konvensional berbahan bakar fosil.
Inilah babak baru transportasi nasional. Kendaraan listrik (electric vehicle/EV) menjadi simbol era rendah karbon yang digaungkan pemerintah dalam ambisi besar mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060.
Jakarta Terdepan, Daerah Lain Tertinggal
Hingga pertengahan 2025, Jakarta mencatatkan 790 Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan 587 Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU). Ini menjadikan Ibu Kota sebagai wilayah dengan infrastruktur EV terlengkap di Indonesia.
Namun ketimpangan masih mencolok. Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, misalnya, belum menunjukkan infrastruktur memadai. Realisasi pembangunan EV memang melejit, tapi tantangan pemerataan antardaerah masih membayangi.
Menurut roadmap PT PLN (Persero) 2022, target 2.304 unit SPKLU dan SPBKLU di 2024 telah terlampaui. Ini menjadi bukti akselerasi berjalan cepat, tapi juga menggarisbawahi pentingnya fokus pembangunan infrastruktur di luar pusat pertumbuhan.
Net Zero Emisi: Ambisi, Tantangan, dan Harapan
Pemerintah melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) versi 3.0 menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 525,4 juta ton COe pada 2035. Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq menekankan bahwa NDC disusun secara inklusif dan terintegrasi dengan agenda pembangunan nasional.
Strategi utama mencakup penghentian bertahap PLTU batubara, peningkatan target sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU), serta pencegahan kebakaran hutan. Di saat bersamaan, peran kendaraan listrik kian sentral, terutama karena sektor transportasi menjadi penyumbang emisi terbesar ketiga di Indonesia.
EV bukan hanya pengganti BBM dengan baterai. Ia adalah wajah baru industri otomotif dan simbol transisi energi yang sesungguhnya.
Potensi Besar, Tantangan Tak Kecil
Dengan cadangan nikel mencapai 40-45% dari pasokan global, Indonesia berpeluang besar memimpin rantai pasok baterai dunia. Target pemerintah mencakup 2 juta EV roda empat dan 13 juta roda dua pada 2030, dengan proyeksi penghematan energi 29,79 juta BOE dan pengurangan emisi hingga 7,23 juta ton CO.
Namun tantangan infrastruktur dan pasokan energi tak bisa diabaikan. Grid listrik nasional masih bertumpu pada batubara. Tanpa pasokan dari energi terbarukan, EV hanya akan memindahkan sumber emisi dari jalan raya ke pembangkit.
Laporan riset Market.us menunjukkan bahwa EV menghasilkan 16,3 ton CO sepanjang 200.000 km penggunaan, jauh lebih rendah dibanding kendaraan konvensional yang bisa menyentuh 49 ton CO. Tapi life cycle emission kendaraan listrik tetap menuntut tata kelola yang menyeluruh, termasuk produksi baterai dan sumber energi listriknya.
Ekosistem EV: Jangan Berhenti di Hilir
Data Kemenhub hingga akhir 2024 mencatat 195.084 unit kendaraan listrik berbasis baterai (KBLBB) beroperasi di Indonesia. Angka ini mayoritas didominasi oleh roda dua, mencerminkan kebutuhan mobilitas harian masyarakat. Pemerintah juga menargetkan kapasitas produksi EV hingga 600.000 unit pada 2030 dengan proyeksi penurunan emisi tahunan sebesar 160.000 ton CO.
Ini artinya, pemerintah harus serius juga dalam pengembangan rantai pasok (supply chain) yang konsisten dan diakselerasi terhadap tumbuhnya potens bijih nikel sebagai nikel dan kobalt sulfat sebagai material utama dalam kendaraan berbasis EV, dengan target kapasitas produksi kendaraan listrik sebesar 600 ribu pada tahun 2030. Sehingga dengan upaya ini akan mampu mengurangi emisi hingga 160 ribu ton CO per tahun dan mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) hingga 45 juta liter per tahun.
Ekosistem EV yang berkelanjutan inilah yang menjadi catatan penting jika bicara soal 'sustainability' dalam penggunaan EV. Apalagi ditambah terus meningkatnya penjualan kendaraan listrik murni (battery electric vehicle/BEV) di kawasan Asia Tenggara pada 2025 mencapai 650.000 unit, Indonesia sebanyak 43.194 unit pada 2024, dengan 30 pemain mobil listrik di Indonesia, dan 42 pemain di ekosistem motor listrik.
Langkah Nyata Diperlukan
Sejumlah langkah konkret yang penting untuk diakselerasi adalah;
1. Integrasikan EV dalam strategi transisi energi dan ketahanan nasional.
2. Menyusun roadmap komprehensif yang mencakup potensi pasar, teknologi EV (baterai, PHEV, hidrogen), insentif fiskal, deployment strategy, dan kebijakan phase-out kendaraan konvensional.
3. Mendorong riset EV lokal, khususnya roda dua dan tiga serta angkutan ringan untuk masyarakat berkebutuhan khusus dengan prinsip sosial inklusif.
4. Berikan insentif finansial untuk produksi massal EV domestik. Memberikan stimulus menarik untuk konsumen agar beralih ke kendaraan listrik.
5. Sinergi kebijakan tarif listrik dengan pengembangan sistem vehicle-to-grid.
6. Edukasi publik soal manfaat jangka panjang EV bagi lingkungan dan tentu saja dompet masyarakat.
Menutup Emisi, Bukan Sekadar Memindahkannya
Indonesia tengah mengakselerasi perjalanannya menuju Net Zero Emission (NZE) 2060. Di antara banyak strategi yang ditempuh, kendaraan listrik (electric vehicle/EV)Â digadang-gadang sebagai simbol perubahan. Tapi pertanyaannya: apakah kendaraan listrik benar-benar menghapus emisi, atau hanya memindahkannya?
EV memang bebas asap di jalanan. Namun, listrik yang menggerakkannya masih berasal dari pembangkit batubara. Baterainya terbuat dari nikel, kobalt, dan lithium-logam yang ditambang dengan jejak sosial dan ekologis yang tak kecil. Bila kita tidak hati-hati, transisi ini justru akan menciptakan krisis baru: dari polusi kota ke degradasi alam pedalaman.
Padahal pemerintah menargetkan penurunan emisi hingga 525 juta ton COe pada 2035 dalam dokumen NDC 3.0. Kendaraan listrik berperan penting, tapi tidak akan cukup bila ekosistem energi kita tetap bergantung pada batu bara.
Net Zero Emisi bukan hanya angka dalam konferensi. Ia adalah pilihan politik dan keberpihakan moral. Bukan hanya pada teknologi, tetapi pada lingkungan yang lebih bersih, masyarakat tambang yang lebih adil, dan generasi masa depan yang berhak atas udara yang layak.
Kendaraan listrik harus dimaknai bukan sebagai produk, tapi sebagai simbol arah. Apakah kita berani membangun sistem energi yang bersih, infrastruktur yang merata, dan industri yang inklusif? Apakah kita siap membayar harga keadilan lingkungan dalam setiap keputusan transisi?
Perjalanan menuju net zero bukan jalan pintas. Ia membutuhkan konsistensi, kolaborasi, dan keberanian. Karena pada akhirnya, yang kita kejar bukan hanya kendaraan tanpa emisi, tetapi cara hidup yang lebih bertanggung jawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI