Mohon tunggu...
nopilaia
nopilaia Mohon Tunggu... Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah USU

Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan - Sutan Syahrir

Selanjutnya

Tutup

Roman

Zaman Dulu Juga Ada Bucin: Kisah George IV dan Cintanya yang Ribet

7 Mei 2025   13:19 Diperbarui: 7 Mei 2025   13:55 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Profil raja george lV dari Britania raya

Lahir pada 17 Agustus 1762, George IV adalah putra sulung Raja George III dan Ratu Charlotte. Sebagai pewaris takhta kerajaan Hanover, ia tumbuh dalam bayang-bayang hubungan ayah-anak yang tegang dan penuh konflik. Gaya hidupnya yang mewah dan boros menjadi sorotan, membuat ayahnya, sang raja, sering kali merasa kecewa dan memandang rendah putranya sendiri.

Di usia muda, George membuat keputusan yang mengguncang istana: pada tahun 1785, ia menikah diam-diam dan secara ilegal dengan Maria Fitzherbert, seorang Katolik Roma—pernikahan yang secara hukum tidak sah menurut undang-undang kerajaan saat itu. Demi menutupi skandal ini dan menyelesaikan utang-utang pribadinya, George akhirnya menikah secara resmi dengan Putri Caroline dari Brunswick pada tahun 1795. Namun, pernikahan ini berubah menjadi bencana besar. Keduanya berselisih, saling menjauh, dan George bahkan berusaha menceraikannya—usaha yang gagal, terutama setelah ia naik takhta.

Pada tahun 1811, saat George III dinyatakan tidak waras, George mengambil alih pemerintahan sebagai Pangeran Wali. Periode ini memberinya panggung untuk memuaskan kecintaannya pada parade militer dan kemegahan publik, terutama setelah kemenangan Inggris atas Napoleon pada tahun 1815.

George resmi menjadi Raja pada tahun 1820. Ia menorehkan sejarah dengan menjadi raja Inggris pertama yang mengunjungi Skotlandia sejak tahun 1650 dan juga mengunjungi Hanover pada tahun 1821. Namun, minatnya terhadap urusan pemerintahan bersifat tidak konsisten. Di masa mudanya, ia sempat bersimpati pada kaum Whig, lebih karena ingin menentang ayahnya. Namun seiring bertambah usia, ia justru mendekat pada kubu Tory. Meskipun awalnya menentang, ia akhirnya menyetujui George Canning sebagai perdana menteri pada 1827. Puncaknya, meski dengan enggan, George dipaksa menyetujui Emansipasi Katolik pada 1829, yang membuka jalan bagi umat Katolik untuk duduk di parlemen Inggris.

Di balik semua dramanya, George IV adalah seorang pencinta seni sejati. Ia memiliki selera artistik yang tinggi, menjadi pelindung arsitek, pelukis, dan desainer, serta membangun koleksi seni yang mengesankan. Salah satu warisannya yang paling menonjol adalah Royal Pavilion di Brighton, sebuah bangunan unik dengan perpaduan gaya arsitektur India dan Cina yang mencerminkan eksentrisitas dan selera khas sang raja.

Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, George hidup dalam kesendirian di Kastil Windsor, menjauh dari urusan kenegaraan. Ia wafat pada 26 Juni 1830. Putri tunggalnya, Charlotte, telah meninggal dunia saat melahirkan pada tahun 1817, sehingga mahkota kerajaan diteruskan kepada saudaranya, yang kemudian naik takhta sebagai William IV.

The Real Cogil Zaman Baheula Raja George IV

Perjalanan cinta George IV dan Maria Fitzherbet Yang dituangkan dalam buku(sumber: Awesome books)
Perjalanan cinta George IV dan Maria Fitzherbet Yang dituangkan dalam buku(sumber: Awesome books)

Jika bicara soal “bucin”, maka Raja George IV dari Britania Raya bisa dibilang the real bucin zaman baheula. Di balik mahkota megah dan istana mewah, hidup George dipenuhi gejolak asmara yang jauh lebih dramatis dari kisah-kisah fiksi kerajaan. Dan pusat dari semua kisah cintanya adalah Maria Fitzherbert, seorang janda Katolik yang bukan bangsawan, tapi justru mencuri hatinya seumur hidup.

Pada tahun 1785, George muda yang keras kepala dan penuh gairah nekat menikahi Maria secara diam-diam. Sayangnya, pernikahan itu dianggap tidak sah oleh hukum kerajaan karena Maria beragama Katolik dan bukan dari kalangan bangsawan. Di bawah tekanan politik dan keluarga, George pun terpaksa menjauh dari wanita yang paling ia cintai.

Tahun 1794 menjadi titik balik ketika George dijodohkan dengan Putri Caroline dari Brunswick. Tapi jangan bayangkan kisah cinta ala dongeng. George dan Caroline saling membenci sejak pandangan pertama. Pernikahan mereka penuh pertengkaran dan skandal, hingga akhirnya keduanya memilih hidup terpisah. Di balik kemewahan istana, George justru tenggelam dalam rasa kehilangan terhadap Maria.

Ilustrasi
Ilustrasi

Rindu yang mengendap bertahun-tahun akhirnya meledak. Tahun 1799, George tak lagi bisa menahan perasaannya. Ia menulis surat penuh emosi pada Maria, mengaku bahwa hidupnya hampa tanpanya. Padahal, Maria berkali-kali menolak. Perbedaan usia (Maria enam tahun lebih tua), agama, status sosial, dan fakta bahwa ia sudah dua kali menjanda menjadi alasan kuat. Tapi George tak peduli cinta baginya "opo wae tak tabrak yang menjadi penghalang"

Maria akhirnya mencari kejelasan dari otoritas tertinggi agamanya—Paus di Roma. Jika Paus menyatakan bahwa pernikahan mereka sah dan ia wajib kembali pada suaminya, maka ia bersedia patuh. Dan pada musim semi 1800, jawaban yang dinanti datang: Paus memutuskan bahwa Maria adalah istri sah George, dan tempatnya adalah di sisi sang suami.

Tak lama, London pun gempar. Pasangan yang pernah dipecah keadaan kini kembali bersama. Pada bulan Juni, Maria mengadakan pesta besar di rumahnya, dipenuhi bunga mawar putih favorit George. Malam itu, bukan sekadar pesta, melainkan perayaan cinta yang bertahan melampaui batas agama, kasta, bahkan hukum kerajaan.

Meski hubungan mereka tetap tak diakui negara, George tak peduli. Baginya, Maria adalah satu-satunya wanita yang mencintainya tanpa syarat. Mereka hidup sederhana, bahkan pernah hanya membawa pulang kurang dari lima shilling dari Brighton. Tapi bagi Maria, masa-masa itu adalah yang paling membahagiakan. “Kami miskin,” katanya pada sepupunya, “tapi bahagia seperti jangkrik.”

George bahkan membangun rumah khusus untuk Maria di Steine dan merombak Royal Pavilion agar bisa digunakan dalam acara-acara kebersamaan mereka. Keluarga kerajaan yang dulu menolak, akhirnya luluh karena melihat betapa positif pengaruh Maria bagi George.

Dunia mungkin menganggap kisah mereka kontroversial. Tapi bagi George dan Maria, mereka hanya dua manusia yang saling mencintai melampaui batas, melawan tradisi, dan memilih kebahagiaan mereka sendiri. Sebuah kisah cinta sejati yang diam-diam bertahan di balik sejarah monarki.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun