Mohon tunggu...
Nong Safiah
Nong Safiah Mohon Tunggu... Desainer - Merangkai Mimpi

Mahasiswi Semester 1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA ini memiliki ketertarikan dalam bidang Design Grafis dan Sastra Indonesia. Motto Hidup: "Bermimpilah....Karena masa depanmu berawal dari mimpi."

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menilik Demokrasi di Era Globalisasi

4 Desember 2019   11:58 Diperbarui: 4 Desember 2019   12:17 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kecanggihan teknologi dapat menjadi sarana ampuh bagi penyebaran virus dan benih-benih kebencian  dikalangan masyarakat, guna memberikan stigma negative kepada khalayak berdasarkan informasi palsu untuk memengaruhi reputasi seseorang. Tak jarang juga dengan kejinya, oknum tersebut mengatasnamakan agama untuk mencapai kepentingan pribadi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya hoax-hoax dan fitnah yang disebar demi membangkitkan sentimen publik terhadap pihak tertentu dalam ruang-ruang dan aktivitas rohani masyarakat. Padahal Tuhan jelas-jelas telah melarang perbuatan yang demikian, dalam firmannya :

"...karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah....."(Q.S Al-Maidah/5: 44)

Lagi dan lagi untuk saling menjatuhkan, saling sindir dan saling sikut. Dapat kita lihat sepanjang tahun 2019  ini, banyak sekali konflik yang mengancam keutuhan NKRI, yang dipicu oleh sentiment publik,  namun yang paling menonjol adalah Kasus Ratna Sarumpaet dan rasisme terhadap mahasiswa Papua serta beragam kasus lain yang tak terhitung.  Oleh karena itu sangatlah diperlukan untuk memfiltrasi segala bentuk informasi sebelum menyebarkannya. Perlu kita ketahui nyatanya  slogan "saring sebelum sharing" bukanlah isapan jempol belaka, melainkan sangat signifikan dampaknya.  Sebagaimana firman Tuhan :

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu"(Q.S A-Hujurat/49: 6)

Globalisasi telah  membenturkan budaya barat dan timur dengan membawa perubahan terhadap pola hidup masyarakat Indonesia,  mengikis moral  dan perlahan  mencoba meruntuhkan ideologi Pancasila. Sehingga yang terjadi adalah kebebasan berbicara disalahgunakan untuk mencaci dan menghujat satu sama lain, yang lebih memalukannya lagi, tanpa ragu  mereka   menghujat pemimpin bangsa  mereka sendiri secara terang-terangan diranah publik dan sosial media.

Bagaimana bangsa kita akan dihormati, jika kita sendiri tidak mampu menghormati sosok pemimpinnya?.  Merasa paling benar dan enggan untuk mendapat teguran, mereka berdalih dalam negara demokrasi hal-hal seperti itu merupakan sesuatu yang lumrah dan seorang pemimpin harus siap dikritisi. Masyarakat telah kehilangan moralnya untuk membedakan yang mana kritikan dan hujatan. Masyarakat hanya mengandalkan "kebebasan berpendapat" tanpa tahu caranya "menghargai pendapat". Padahal kita menyandang gelar sebagai  bangsa  berbudi luhur, pantaskah hal yang demikian dilakukan?  Masyarakat kita juga masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, seharusnya menjaga diri dari perbuatan rendah tersebut,  seperti halnya dalam firman Tuhan berikut:

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum  yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka yang (mengolok-olok),...."(Q.S A-Hujurat/49: 11)

"...Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk..."(Q.S A-Hujurat/49: 11)

Masyarakat telah melupakan bahwa selain sebagai negara demokrasi, Indonesia juga negara Republik yang dipimpin oleh presiden yang mewakili dan menampung aspirasi rakyat. Mereka juga telah melupakan bahwa sosok presiden yang saat ini telah memimpin negara merupakan mandat yang jelas-jelas mereka berikan pada saat pemilihan umum.

Lalu, siapakah yang patut disalahkan? Toh itulah mengapa sangat penting dalam berdemokrasi memilih sesuai hari nurani tanpa ada tipu daya.  Siapakah yang bertanggung jawab? Tentulah kita semua yang bertanggung jawab atas terpilihnya sosok seorang pemimpin. Tidak perlu lagi saling menyalahkan. Karena pemerintah akan selalu berasal dari rakyat, berarti moral pemerintah merupakan gambaran dari moral bangsa Indonesia saat itu. Pemerintah hanya perlu diluruskan bukan lagi diruntuhkan. Maka pemimpin yang sekarang adalah pemimpin yang wajib kita taati selagi menuntun kita kepada kemaslahatan umat.  Sebagaimana firman Tuhan :

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Taatilah rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu....".(Q.S an-Nisa/4: 59)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun