Mohon tunggu...
Nong Safiah
Nong Safiah Mohon Tunggu... Desainer - Merangkai Mimpi

Mahasiswi Semester 1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA ini memiliki ketertarikan dalam bidang Design Grafis dan Sastra Indonesia. Motto Hidup: "Bermimpilah....Karena masa depanmu berawal dari mimpi."

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menilik Demokrasi di Era Globalisasi

4 Desember 2019   11:58 Diperbarui: 4 Desember 2019   12:17 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Oleh: Nong Safi'ah

 

Kemelut zaman telah memaksa umat manusia untuk memahami dinamika politik. Demokrasi terlahir diantara sisa-sisa pertarungan  dua raksasa politik. Entah sebagai solusi atau hanya sebuah ilusi, jika nyatanya pilar-pilar demokrasi semakin lama semakin bias. Seolah-olah demokrasi hanya menjadi "kedok" reinkarnasi dari peradaban lama.

Demokrasi  mengusung  kekuasaan yang berangkat "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat", dari statement tersebut  dapat disimpulkan bahwa dalam demokrasi, masing-masing individu mempunyai peran penting dan hak dalam menentukan kemana arah kemudi suatu bangsa. Dengan demikian, segala bentuk kebijakan pemerintah haruslah berpihak terhadap kesejahteraan rakyat.  Cukup menggiurkan bukan? Hal inilah yang menyebabkan mengapa demokrasi menjadi suatu paham yang digandrungi dan berhasil menarik simpati masyarakat dunia.

Di Indonesia sendiri, demokrasi mulai menggema pasca keruntuhan rezim pemerintahan Orde baru, bukan saja dalam lingkup politik namun juga ruang publik. Reformasi telah begitu memanjakan para pecandu "demokrasi". Oleh karena itu nilai kebebasan berbicara sangat dijunjung tinggi dalam paham ini, sebagaimana yang dijamin dalam UU Pasal 28 E ayat 3. yang berbunyi :

"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat".

Akan tetapi dalam prosesnya, banyak faktor-faktor yang perlu  diperhatikan dalam mentransformasikan suatu  negara yang sedang berkembang menuju negara demokrasi. Sejarah dunia  mengatakan,  negara-negara yang gegabah dalam mendemokratis-kan masyarakatnya berakhir dengan peristiwa berdarah dan  kehancuran, seperti yang terjadi di negara-negara Balkan dan Kaukasus. Terlebih di era globalisasi, tantangan zaman menjadi begitu besar, demokrasi menjadi suatu polemik tersendiri  dalam dunia bernegara.

Globalisasi hadir membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang menimbulkan perdebatan menyangkut kaitannya dengan demokrasi.  Setidaknya, globalisasi informasi telah mendorong penyebaran gagasan-gagasan tentang demokrasi ke seluruh dunia melalui kecanggihan teknologi. Dan karena globalisasi juga daya tahan suatu rezim pemerintahan menjadi terancam. Selain sukarnya penerapan  prinsip kesetaraan yang  merujuk pada konsep politik.

Di sisi lain, pluralisme, serta tingkat melek politik yang masih minim dimasyarakat cenderung memperbesar resiko dari demokrasi itu sendiri.  Oleh karena konsep yang disuguhkan demokrasi merupakan konsep kerakyatan, maka kita harus berfokus kepada masyarakat sebagai penggerak utama dalam sistem demokrasi. Sehingga yang diperlukan bagi negara-negara demokrasi ialah pendalaman dan sosialisasi demokrasi kepada masyarakat, sebab kekacauan pemahaman masyarakat terhadap makna demokrasi dapat membuat demokrasi berjalan tersendat atau bahkan salah kaprah. Terlebih jika arus informasi yang datang sebagai akibat dari globalisasi kepada masyarakat demokratis, diterima begitu saja  tanpa  diimbangi dengan pola pikir yang memadai, justru informasi tersebut hanya akan menjadi malapetaka bagi bangsa dan negara.  Umumnya demokrasi yang terjadi diera ini tidak berjalan seperti  yang diharapkan.

Demokrasi Pancasila yang  digadang-gadang menjadi ideologi tertinggi telah menjelma menjadi demokrasi liberal. Dimana demokrasi terjadi kebablasan secara liar dan brutal, monopoli media dan juga politik adu domba (devide et impera) kini mulai merambah kembali. Masyarakat dengan kefanatikan politik dan  stereotype tinggi  menjadi sasaran empuk sebagai objek politisasi dan terjerat dalam "permainan" yang dibuat oleh oknum-oknum pemecah belah bangsa.            

Kecanggihan teknologi dapat menjadi sarana ampuh bagi penyebaran virus dan benih-benih kebencian  dikalangan masyarakat, guna memberikan stigma negative kepada khalayak berdasarkan informasi palsu untuk memengaruhi reputasi seseorang. Tak jarang juga dengan kejinya, oknum tersebut mengatasnamakan agama untuk mencapai kepentingan pribadi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya hoax-hoax dan fitnah yang disebar demi membangkitkan sentimen publik terhadap pihak tertentu dalam ruang-ruang dan aktivitas rohani masyarakat. Padahal Tuhan jelas-jelas telah melarang perbuatan yang demikian, dalam firmannya :

"...karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah....."(Q.S Al-Maidah/5: 44)

Lagi dan lagi untuk saling menjatuhkan, saling sindir dan saling sikut. Dapat kita lihat sepanjang tahun 2019  ini, banyak sekali konflik yang mengancam keutuhan NKRI, yang dipicu oleh sentiment publik,  namun yang paling menonjol adalah Kasus Ratna Sarumpaet dan rasisme terhadap mahasiswa Papua serta beragam kasus lain yang tak terhitung.  Oleh karena itu sangatlah diperlukan untuk memfiltrasi segala bentuk informasi sebelum menyebarkannya. Perlu kita ketahui nyatanya  slogan "saring sebelum sharing" bukanlah isapan jempol belaka, melainkan sangat signifikan dampaknya.  Sebagaimana firman Tuhan :

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu"(Q.S A-Hujurat/49: 6)

Globalisasi telah  membenturkan budaya barat dan timur dengan membawa perubahan terhadap pola hidup masyarakat Indonesia,  mengikis moral  dan perlahan  mencoba meruntuhkan ideologi Pancasila. Sehingga yang terjadi adalah kebebasan berbicara disalahgunakan untuk mencaci dan menghujat satu sama lain, yang lebih memalukannya lagi, tanpa ragu  mereka   menghujat pemimpin bangsa  mereka sendiri secara terang-terangan diranah publik dan sosial media.

Bagaimana bangsa kita akan dihormati, jika kita sendiri tidak mampu menghormati sosok pemimpinnya?.  Merasa paling benar dan enggan untuk mendapat teguran, mereka berdalih dalam negara demokrasi hal-hal seperti itu merupakan sesuatu yang lumrah dan seorang pemimpin harus siap dikritisi. Masyarakat telah kehilangan moralnya untuk membedakan yang mana kritikan dan hujatan. Masyarakat hanya mengandalkan "kebebasan berpendapat" tanpa tahu caranya "menghargai pendapat". Padahal kita menyandang gelar sebagai  bangsa  berbudi luhur, pantaskah hal yang demikian dilakukan?  Masyarakat kita juga masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, seharusnya menjaga diri dari perbuatan rendah tersebut,  seperti halnya dalam firman Tuhan berikut:

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum  yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka yang (mengolok-olok),...."(Q.S A-Hujurat/49: 11)

"...Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk..."(Q.S A-Hujurat/49: 11)

Masyarakat telah melupakan bahwa selain sebagai negara demokrasi, Indonesia juga negara Republik yang dipimpin oleh presiden yang mewakili dan menampung aspirasi rakyat. Mereka juga telah melupakan bahwa sosok presiden yang saat ini telah memimpin negara merupakan mandat yang jelas-jelas mereka berikan pada saat pemilihan umum.

Lalu, siapakah yang patut disalahkan? Toh itulah mengapa sangat penting dalam berdemokrasi memilih sesuai hari nurani tanpa ada tipu daya.  Siapakah yang bertanggung jawab? Tentulah kita semua yang bertanggung jawab atas terpilihnya sosok seorang pemimpin. Tidak perlu lagi saling menyalahkan. Karena pemerintah akan selalu berasal dari rakyat, berarti moral pemerintah merupakan gambaran dari moral bangsa Indonesia saat itu. Pemerintah hanya perlu diluruskan bukan lagi diruntuhkan. Maka pemimpin yang sekarang adalah pemimpin yang wajib kita taati selagi menuntun kita kepada kemaslahatan umat.  Sebagaimana firman Tuhan :

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Taatilah rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu....".(Q.S an-Nisa/4: 59)

Jangan biarkan suara kita dikotori oleh asap dari api yang disulut oknum yang bersembunyi dibalik wajah demokrasi. Jangan sampai hanya karena selembar-dua lembar rupiah masa depan bangsa kita tergadaikan.  Jika bangsa kita tercerai berai oleh demokrasi semu, maka kapankah bangsa ini menjadi bangsa yang besar? Jauh sebelum paham demokrasi ada, Tuhan telah memperingatkan kita terlebih dahulu dalam firmannya :

"Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas..."(Q.S Ali-Imran/3: 105)

Untuk menjadi negara yang besar,  diperlukan usaha dalam skala nasional, dengan syarat  semua pihak harus bersinergi dan bersikap  kooperatif. Karena maju tidaknya suatu bangsa bukan ditentukan oleh bangsa lain, melainkan bangsa itu sendiri. Sebagaimana firman Tuhan yang artinya:

"...Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri..."(Q.S Ar-Ra'du/13: 11)

Pemerintah, mahasiswa dan rakyat hendaknya bukan lagi bidak-bidak yang saling menjatuhkan, tetapi mata rantai yang saling terkait dan menguatkan satu sama lain. Bangsa kita bangsa timur, yang sopan dalam berlaku dan bertutur. Kita menjunjung tinggi "kebebasan berbicara" bukan "kebablasan berbicara". Demokrasi bukanlah ladang untuk mencari eksistensi diri, tetapi gerbang untuk mengabdi pada negeri.  

*Penulis adalah mahasiswa Semester 1, mata kuliah Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun