Aku marah, aku sakit hati. Tapi di balik semua itu, ada rasa malu yang membakar. Aku sendiri yang memasukkan ular ke dalam kandangku. Aku yang mengulurkan tangan untuk menolongnya, tapi dia yang merampas kebahagiaanku. Aku merasa bodoh, merasa terlalu naif untuk percaya bahwa persahabatan kami masih bisa diselamatkan.
Hari-hari setelah itu terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Aku mencoba menghindari semua kenangan tentang Adit dan Rani, tapi setiap sudut kota ini seolah mengingatkanku pada pengkhianatan itu. Aku tidak bisa tidur, tidak bisa makan. Setiap kali aku menutup mata, bayangan mereka berdua menghantuiku.
Tapi, di tengah semua kepedihan ini, aku belajar sesuatu yang berharga. Aku belajar bahwa tidak semua orang yang tersenyum padamu adalah teman. Tidak semua sahabat bisa kau percaya seutuhnya. Aku belajar untuk lebih tegas, untuk tidak lagi memberi kesempatan kedua pada orang yang telah mengkhianati kepercayaanku.
Mungkin ini bukan akhir yang kuharapkan, tapi aku yakin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik untukku. Aku akan bangkit dari puing-puing hati yang hancur ini. Aku akan belajar mencintai diriku sendiri lagi, dan suatu hari nanti, aku akan menemukan kebahagiaan yang sejati---tanpa pengkhianatan, tanpa rasa sakit.
Dan untuk Rani, aku hanya bisa berharap bahwa karma akan terus mengikutinya. Karena pengkhianatan seperti ini tidak akan pernah terlupakan, dan luka yang dia tinggalkan akan selalu menjadi pengingat bahwa tidak semua orang layak mendapat tempat di hatiku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI