Memasukkan Ular ke Kandang Sendiri: Kisah Pengkhianatan Sahabat yang Menghancurkan Hati
Karena kisah nyata yang di alami oleh temanku jadi aku samarkan semua namanya.
Dulu, kami berempat seperti satu jiwa dalam empat tubuh. Aku, Andini, bersama tiga sahabatku---Ninda, Arini, dan Rani. Persahabatan kami terjalin erat sejak SMA, diisi dengan tawa yang menggema, rahasia yang terjaga, dan impian masa depan yang kami rajut bersama. Aku yakin, ikatan kami takkan pernah terputus. Tapi, ternyata, hidup punya rencana lain.
Saat kami memasuki dunia kuliah, Rani mulai berubah. Ambisinya untuk menjadi ratu kampus membuatnya melangkah jauh dari kami. Dia mulai bergaul dengan geng baru, orang-orang yang lebih berpengaruh dan populer. Awalnya, kami mencoba memahami. Kami pikir, ini hanya fase. Kami tetap mendukungnya, meskipun jarak antara kami semakin terasa. Rani lebih memilih mereka, dan perlahan-lahan, persahabatan kami mulai retak.
Hingga suatu hari, karma seolah datang menghampiri Rani. Geng barunya meninggalkannya, dan lebih tragis lagi, pernikahannya yang tinggal menghitung hari dibatalkan. Aku mendengar kabar itu dari Ninda. Meskipun hubungan kami sudah tidak seakrab dulu, rasa kasihan dan nostalgia membuatku tergerak. Aku membuka pintu untuknya kembali, mengajaknya berkumpul seperti dulu. Aku ingin dia merasa diterima, ingin dia tahu bahwa dia masih punya sahabat yang peduli.
Aku bahkan memilihnya menjadi bridesmaid-ku. Saat itu, aku berpikir, ini adalah cara terbaik untuk menunjukkan bahwa aku benar-benar sudah memaafkannya dan ingin kembali memulai persahabatan kami. Tapi, siapa sangka, keputusanku ini justru menjadi awal dari pengkhianatan terbesar dalam hidupku.
Beberapa minggu sebelum pernikahanku, tunanganku, Adit, mulai berubah. Dia lebih sering sibuk, sering menghindari pembicaraan tentang pernikahan kami. Aku mencoba memahami, berpikir bahwa dia hanya gugup atau stres. Tapi, ada sesuatu yang tidak beres. Aku merasakannya.
Sampai suatu malam, telepon berdering. Suara Ninda di ujung telepon terdengar gemetar. "Andin, kamu harus tahu ini. Aku tidak ingin kamu mendengarnya dari orang lain," katanya. Hatiku berdebar kencang. "Ada apa, Nind?" tanyaku, mencoba menenangkan diri.
"Rani... Rani menikahi Adit," ucapnya pelan, seolah takut menyakiti hatiku lebih dalam.
Dunia di sekitarku seolah runtuh. Aku tidak bisa bernapas. Bagaimana mungkin? Bagaimana ini bisa terjadi? Aku tidak tahu kapan mereka mulai mendekat, kapan mereka mulai merencanakan ini. Apakah sejak awal ini rencananya? Apakah Rani mendekatiku hanya untuk merebut kebahagiaanku? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikiranku, tapi fakta yang ada di depan mataku tak bisa dibantah. Mereka menikah.
Aku marah, aku sakit hati. Tapi di balik semua itu, ada rasa malu yang membakar. Aku sendiri yang memasukkan ular ke dalam kandangku. Aku yang mengulurkan tangan untuk menolongnya, tapi dia yang merampas kebahagiaanku. Aku merasa bodoh, merasa terlalu naif untuk percaya bahwa persahabatan kami masih bisa diselamatkan.
Hari-hari setelah itu terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Aku mencoba menghindari semua kenangan tentang Adit dan Rani, tapi setiap sudut kota ini seolah mengingatkanku pada pengkhianatan itu. Aku tidak bisa tidur, tidak bisa makan. Setiap kali aku menutup mata, bayangan mereka berdua menghantuiku.
Tapi, di tengah semua kepedihan ini, aku belajar sesuatu yang berharga. Aku belajar bahwa tidak semua orang yang tersenyum padamu adalah teman. Tidak semua sahabat bisa kau percaya seutuhnya. Aku belajar untuk lebih tegas, untuk tidak lagi memberi kesempatan kedua pada orang yang telah mengkhianati kepercayaanku.
Mungkin ini bukan akhir yang kuharapkan, tapi aku yakin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik untukku. Aku akan bangkit dari puing-puing hati yang hancur ini. Aku akan belajar mencintai diriku sendiri lagi, dan suatu hari nanti, aku akan menemukan kebahagiaan yang sejati---tanpa pengkhianatan, tanpa rasa sakit.
Dan untuk Rani, aku hanya bisa berharap bahwa karma akan terus mengikutinya. Karena pengkhianatan seperti ini tidak akan pernah terlupakan, dan luka yang dia tinggalkan akan selalu menjadi pengingat bahwa tidak semua orang layak mendapat tempat di hatiku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI