"Love is a losing game."Â Kalimat dari Amy Winehouse itu terasa sederhana, tapi menyimpan lapisan makna. Cinta, dalam pengertiannya yang paling mentah, memang bisa membuat orang kehilangan dirinya sendiri. Ketika kita terlalu larut, kita bisa terseret pada kekacauan yang tidak kita pahami. Banyak orang mendefinisikan kekalahan dalam cinta sebagai kalah bersaing, kalah merebut hati, atau kalah dalam perebutan perhatian. Namun sesungguhnya, yang lebih berbahaya adalah kekalahan dalam menjaga diri: ketika batas antara siapa diri kita dan siapa pasangan kita menjadi kabur, dan kita tak lagi tahu arah.
Di titik inilah pentingnya membedakan antara cinta dan hubungan. Cinta adalah sesuatu yang cair, mengalir, dan tidak selalu bisa dikendalikan. Ia datang kadang tanpa logika, mengikat tanpa permisi. Tetapi hubungan, yang kita jalani setelah cinta itu hadir, menuntut struktur. Ia membutuhkan batasan, aturan, kesepakatan. Hubungan adalah ruang di mana dua orang menampung cinta itu agar tidak berceceran. Tanpa wadah, air akan menguap. Tanpa struktur, cinta akan mudah bocor ke arah yang salah.
Banyak orang terjebak dengan memandang cinta sebagai ajang perebutan kuasa. Siapa yang lebih banyak memberi, siapa yang lebih banyak menahan diri, siapa yang lebih berkorban. Pola pikir ini melahirkan logika menang dan kalah. Padahal, hubungan yang sehat tidak mengenal pemenang tunggal. Tidak ada trofi untuk pasangan yang selalu mengalah atau selalu mendominasi. Yang ada hanyalah keseimbangan, di mana dua orang bisa bergantian saling menopang.
Cinta memang bisa memabukkan, tetapi hubungan adalah kewarasan yang menyertainya. Keduanya harus hadir bersama, seperti air dan wadah. Air tanpa wadah akan meluber, sementara wadah tanpa air hanyalah ruang kosong yang dingin. Sebuah hubungan yang hanya diisi oleh aturan tanpa cinta akan terasa kering, mekanis, dan hambar. Sebaliknya, cinta yang menggebu tanpa diikat oleh komitmen akan cepat menghilang, seperti hujan deras yang sebentar saja lenyap ditelan tanah.
Sayangnya, banyak orang masih melihat hubungan dengan kacamata transaksional. "Aku sudah melakukan ini, jadi kamu harus membalas dengan itu." "Aku sudah berkorban sejauh ini, maka aku berhak menuntut lebih." Pola pikir semacam ini membuat cinta berubah menjadi neraca akuntansi. Tentu saja, hubungan memang punya unsur transaksi. Ada timbal balik, ada saling memberi, ada keseimbangan. Tetapi hubungan yang sehat tidak berhenti pada hitung-hitungan. Ia berkembang menjadi saling memberi tanpa menunggu ganti. Memberi karena ingin melihat pasangan bertumbuh, bukan karena ingin menuntut imbalan.
Inilah tantangan terbesar dalam menjalani cinta yang bertransformasi menjadi hubungan jangka panjang. Tidak ada rumus pasti, tidak ada standar baku. Yang ada hanyalah keberanian untuk terus belajar. Pernikahan, misalnya, sering kali dipandang menakutkan. Ia dianggap penjara, atau bahkan jebakan yang membuat seseorang kehilangan kebebasan. Padahal pernikahan bukanlah momok. Ia hanya sulit. Sulit karena ia menuntut kesabaran ekstra, kerja sama, dan kesiapan untuk menghadapi kenyataan bahwa cinta tidak selalu berbentuk manis.
Pernikahan adalah perjalanan panjang yang memperlihatkan wajah asli dua manusia. Ketika hidup masih dihiasi kencan singkat, kita hanya bertemu serpihan diri pasangan: yang sudah rapi, wangi, dan siap tampil. Tapi ketika kita hidup serumah, kita akan bertemu wajah asli: sisi lelah, sisi rapuh, sisi marah, dan sisi egois. Inilah fase di mana cinta diuji, apakah ia mampu menjadi bahan bakar untuk bertahan, atau justru menguap meninggalkan kekecewaan.
Namun, jika kita mampu menempatkan cinta sebagai air dan hubungan sebagai wadah, maka keduanya akan saling melengkapi. Air memberi makna pada wadah, wadah memberi bentuk pada air. Hubungan bukan lagi soal siapa yang menang atau kalah, melainkan soal bagaimana keduanya bisa bertahan bersama, meskipun tidak selalu dalam kondisi yang ideal.
Keseimbangan ini menuntut kerja ganda: bekerja pada diri sendiri dan bekerja bersama pasangan. Bekerja pada diri sendiri berarti berani bercermin, berani mengakui kelemahan, berani merawat luka pribadi yang kita bawa sebelum masuk ke dalam hubungan. Banyak hubungan runtuh bukan karena pasangan tidak cocok, tetapi karena masing-masing membawa luka lama yang tidak pernah diobati. Luka itu kemudian ditumpahkan dalam hubungan, dan akhirnya melukai keduanya.
Sementara bekerja bersama pasangan berarti berani membuka komunikasi, berani menegosiasikan kebutuhan, dan berani mengakui bahwa kita tidak bisa selalu benar. Hubungan yang sehat tidak menuntut kesempurnaan, tetapi kesediaan untuk terus memperbaiki. Tidak ada yang benar-benar ahli dalam mencintai. Semua orang adalah murid dalam kelas besar bernama hubungan.