Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan Juga Bisa Toksik, Mengapa Kita Perlu Bicara soal Feminitas yang Menyakitkan

16 Juni 2025   21:37 Diperbarui: 16 Juni 2025   21:37 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini, kita sering mendengar tentang "maskulinitas toksik", perilaku laki-laki yang kasar, tidak mau menangis, dan selalu ingin terlihat kuat. Media sosial, film, bahkan diskusi publik banyak mengulas bagaimana budaya patriarki membentuk laki-laki menjadi pribadi yang kaku dan dominan. Namun kenyataannya, perilaku toksik tidak hanya dimiliki oleh laki-laki. Perempuan pun bisa melakukan tindakan menyakitkan, meskipun seringkali dengan cara yang lebih halus. Justru dalam kelembutan itulah kadang tersembunyi bentuk kekuasaan yang sulit dikenali. Terkadang, kelembutan atau sikap manis justru dijadikan alat untuk mengatur, memaksa, bahkan menyakiti orang lain secara diam-diam. Inilah yang disebut toxic femininity atau feminitas toksik.

Feminitas toksik muncul saat seseorang menggunakan sifat seperti manja, lembut, atau sensitif untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan cara manipulatif. Contohnya adalah ketika seseorang berpura-pura menjadi korban agar terhindar dari tanggung jawab, atau menggunakan air mata untuk membuat orang lain merasa bersalah. Fenomena ini bukan sekadar cerita di film atau drama Korea yang dramatis, melainkan bagian nyata dari kehidupan sehari-hari yang sering luput dari perhatian.

Psikolog Dr. Ramani Durvasula menjelaskan bahwa perempuan juga dapat menyakiti secara emosional. Karena bentuk kekerasannya tidak terlihat secara fisik, ia sering tidak dikenali. Kalimat seperti, “Kalau kamu sayang aku, kamu harus nurut,” terdengar biasa saja, tapi bisa menjadi bentuk pengendalian emosional yang halus namun dalam. Cara ini berbeda dari kekerasan laki-laki yang cenderung langsung, namun justru karena itulah feminitas toksik bisa lebih merusak secara psikologis.

Dalam relasi romantis, misalnya, tidak jarang perempuan menggunakan rasa bersalah atau rasa sayang pasangan untuk mengontrol. Mereka bisa memanipulasi suasana hati, membungkus tuntutan dengan air mata, atau menciptakan kondisi di mana pasangan merasa tidak pernah cukup baik. Ini bukan bentuk cinta, tapi bentuk dominasi yang diselimuti kelembutan.

Contoh nyata lainnya bisa ditemukan di kereta komuter. Gerbong khusus perempuan dibuat untuk memberikan rasa aman, terutama dari potensi pelecehan. Tapi menariknya, saat jam sibuk dan gerbong penuh sesak, banyak perempuan justru memilih naik gerbong campuran. Bukan karena tidak menghargai privasi, melainkan karena merasa suasana di gerbong perempuan lebih menekan—penuh tatapan tajam, komentar pasif-agresif, atau suasana yang membuat tidak nyaman. Sejumlah penumpang bahkan mengakui lebih tenang berada di gerbong umum, karena tekanan sosial di gerbong perempuan terasa lebih berat.

Fenomena ini menjadi cerminan bahwa kekerasan tak selalu berupa tindakan fisik, tetapi juga bisa muncul dari suasana sosial yang membuat seseorang merasa kecil atau terpinggirkan. Kekuasaan tidak hanya soal dominasi fisik, tapi juga tentang siapa yang boleh bicara, siapa yang boleh merasa nyaman, dan siapa yang dikucilkan secara halus.

Beberapa eksperimen sosial menunjukkan reaksi publik yang berbeda terhadap kekerasan tergantung pada siapa pelakunya. Jika seorang pria terlihat memarahi pasangannya di tempat umum, banyak orang segera bertindak. Namun jika seorang perempuan yang memarahi atau bahkan memukul pria, reaksi publik cenderung pasif, bahkan terkadang justru menertawakan korban. Ini menunjukkan bias yang dalam: kita lebih mudah mempercayai bahwa perempuan selalu korban dan laki-laki selalu pelaku. Padahal realitasnya jauh lebih kompleks.

Di Indonesia, laki-laki yang menjadi korban kekerasan rumah tangga sering kali memilih diam. Mereka takut dianggap lemah, atau malu jika sampai diketahui orang lain. Bahkan ketika seorang suami mendapatkan perlakuan kasar dari istrinya, masyarakat sering menyalahkan suami tersebut, dianggap tidak tegas atau tidak bisa memimpin. Fenomena ini menunjukkan bahwa kelembutan pun bisa menjadi alat kuasa.

Lebih jauh lagi, ini menunjukkan bagaimana narasi dominan tentang gender membungkam suara-suara yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Laki-laki yang menangis dianggap lemah. Perempuan yang agresif dianggap 'berdaya', walau bisa jadi ia menyakiti.

Pola asuh anak turut membentuk realitas ini. Anak perempuan sering diajarkan untuk menjadi manis, pandai merayu, dan bersikap lembut agar disukai. Mereka diajarkan menjadi penurut dan pemanis suasana. Sementara anak laki-laki dididik untuk menahan emosi, tidak menangis, dan harus kuat. Mereka dilarang menunjukkan perasaan atau mengeluh. Akibatnya, perempuan tumbuh dengan kemampuan memanipulasi emosi, sementara laki-laki menekan perasaan dan tidak berani mengungkapkan luka. Ini adalah ketimpangan yang berbahaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun