Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan Juga Bisa Toksik, Mengapa Kita Perlu Bicara soal Feminitas yang Menyakitkan

16 Juni 2025   21:37 Diperbarui: 16 Juni 2025   21:37 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketimpangan ini juga merambat ke dunia kerja dan pergaulan sosial. Perempuan yang terlalu berambisi dianggap 'tidak feminin', sementara laki-laki yang lembut dianggap tidak maskulin. Akhirnya, banyak orang memilih menyembunyikan jati dirinya dan hidup dalam tekanan peran yang tidak mereka pilih.

Feminisme sejati bukan tentang menaikkan satu gender dan merendahkan yang lain. Feminisme adalah perjuangan untuk kesetaraan, dan untuk itu, ia juga harus berani mengakui bahwa perempuan bisa melakukan kekerasan, sama seperti laki-laki. Ini bukan soal menyalahkan perempuan, tapi soal kejujuran melihat realitas. Feminis tidak boleh menghindar dari kritik terhadap perilaku toksik hanya karena pelakunya perempuan. Justru dalam keberanian mengoreksi diri, gerakan ini mendapatkan integritas moralnya.

Beberapa feminis progresif, seperti Camille Paglia atau Christina Hoff Sommers, telah lama menyerukan agar feminisme tidak menjadi alat politisasi gender semata. Mereka mengingatkan bahwa feminisme harus bertumpu pada kebenaran dan tanggung jawab bersama. Karena itu, menyadari adanya feminitas toksik bukan berarti anti perempuan, melainkan bagian dari proses menjadi manusia yang adil.

Kita membutuhkan paradigma baru. Ruang harus diberikan bagi laki-laki untuk berbicara tentang luka dan trauma mereka tanpa ditertawakan atau dianggap kurang jantan. Di saat yang sama, perempuan pun perlu memahami bahwa kelembutan bukan pembenaran untuk mengontrol atau menyakiti. Dunia yang adil bukan hanya yang membela korban perempuan, tetapi juga yang melindungi laki-laki dari stigma dan ketidakadilan.

Perilaku toksik tidak mengenal jenis kelamin. Ia bisa hadir dalam bentuk kekerasan fisik yang kasar atau dalam kelembutan yang manipulatif. Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik label gender untuk membenarkan perilaku buruk. Tanggung jawab moral dan etika adalah milik semua manusia, bukan hanya salah satu jenis kelamin.

Maka mari kita bangun dunia yang lebih adil dan manusiawi. Tempat di mana setiap individu dihargai bukan karena jenis kelaminnya, tetapi karena keberanian, empati, dan kejujuran yang mereka tunjukkan dalam memperbaiki diri. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun