Langit malam itu masih memantulkan sisa-sisa cahaya kembang api yang baru saja pecah di udara. Aroma ketupat dan opor ayam yang tersisa dari siang tadi masih samar tercium di antara tiupan angin. Di dalam rumah, percakapan mereda, hanya ada suara televisi yang menayangkan siaran khas Lebaran. Namun, di balik kemeriahan ini, ada sesuatu yang lebih sunyi, lebih dalam, sebuah perjalanan batin yang tak selalu tampak di permukaan.
Hari itu, aku melihat sekeliling, mendengar suara-suara tawa keluarga yang saling bersalaman. Ada momen-momen haru yang menghangatkan, meskipun aku sendiri tidak berada di tengah-tengahnya secara langsung.
Idul Fitri selalu menjadi pengingat bahwa hubungan tak selalu sempurna. Ada salah paham yang bertumpuk, ada luka kecil yang terabaikan, ada kata-kata yang seharusnya tak pernah terucap. Dan di hari ini, semua itu seakan menemukan jalannya untuk kembali pulih.
Memaafkan bukan sekadar perihal menghapus kesalahan orang lain, tetapi juga tentang membebaskan diri dari belenggu masa lalu. Para psikolog menyebutnya sebagai proses penyembuhan mental, sebuah cara agar manusia tidak terjebak dalam lingkaran dendam yang melelahkan. Neurosains bahkan menunjukkan bahwa saat kita memaafkan, korteks prefrontal otak, bagian yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan empati, menjadi lebih aktif. Sementara amigdala, pusat kendali emosi yang sering memicu stres, perlahan mereda.
Namun, tidak semua orang mudah memaafkan. Ada yang masih menyimpan luka bertahun-tahun, ada yang merasa harga dirinya akan jatuh jika mengalah. Dalam banyak masyarakat, terutama yang berbasis kolektivis seperti di Indonesia, meminta maaf sering kali bukan hanya urusan individu, tetapi juga menyangkut keluarga, martabat, dan status sosial. Sebuah maaf yang terlalu cepat bisa dianggap lemah, sementara maaf yang tertahan bisa menjadi bara dalam hubungan yang semakin retak.
Di malam itu, setelah berkomunikasi dengan keluarga melalui layar ponsel, aku duduk termenung. Pikiranku melayang kepada seorang teman lama. Kami pernah begitu dekat, namun sebuah kesalahpahaman membuat kami berpisah tanpa kata maaf. Aku tidak tahu siapa yang harus lebih dulu mengulurkan tangan. Tapi malam itu, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Aku mengambil ponsel, mengetik pesan sederhana:Â
"Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin."
Pesan itu terkirim, tanpa ekspektasi. Tapi ada kelegaan yang mengalir perlahan. Aku tidak tahu apakah ia akan membalas, atau apakah hubungan kami bisa kembali seperti dulu. Tapi mungkin, di sinilah esensi dari Idul Fitri, sebuah perjalanan untuk menemukan kembali keikhlasan, mengurai kesalahan, dan merangkul makna sejati dari kembali ke fitrah.
Dari sudut pandang antropologi, tradisi meminta maaf saat Idul Fitri bukan hanya tentang hubungan personal, tetapi juga tentang rekonstruksi sosial. Dalam masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan, Lebaran menjadi momen di mana hierarki sosial dan konflik lama bisa diredakan. Proses saling memaafkan ini menjadi ritual yang memperkuat jaringan sosial, memastikan bahwa hubungan tetap harmonis meskipun tahun demi tahun berlalu dengan berbagai perbedaan.
Sosiologi juga menunjukkan bahwa Idul Fitri bukan sekadar hari raya, melainkan mekanisme sosial yang memungkinkan individu untuk memperbarui hubungan dalam komunitas mereka. Masyarakat yang sering mengalami pergesekan akibat perbedaan pendapat atau cara pandang, melalui momentum ini, bisa merajut kembali ikatan yang hampir terputus.Â
Inilah sebabnya mengapa tradisi mudik begitu kuat di Indonesia, lebih dari sekadar pulang kampung, itu adalah perjalanan pulang ke akar sosial seseorang, kembali ke lingkaran yang memberikan identitas dan makna.
Aku membayangkan berapa banyak orang yang merasakan hal serupa di malam itu. Mereka yang menunggu balasan pesan maaf, mereka yang ragu untuk menghubungi orang-orang yang pernah menyakiti atau disakiti, mereka yang merasa hampa meski telah mengucapkan permintaan maaf dengan bibir tetapi belum dengan hati.Â
Ada yang akhirnya memberanikan diri, ada yang masih bergelut dengan ego, dan ada pula yang sadar bahwa memaafkan sering kali lebih sulit daripada meminta maaf.
Di hari yang penuh makna ini, aku belajar bahwa memaafkan adalah perjalanan panjang. Tidak semua maaf harus disambut dengan pelukan, tidak semua kesalahan bisa dihapus dengan kata-kata. Tapi setidaknya, dengan membuka pintu maaf, kita memberi diri kita sendiri kesempatan untuk melangkah lebih ringan. Karena di akhir hari, Idul Fitri bukan hanya tentang kemenangan atas hawa nafsu, tetapi juga tentang keberanian untuk menghadapi masa lalu dengan hati yang lebih lapang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI