Dulu, di kampung-kampung Indonesia, hidup terasa lebih lambat. Pagi dimulai dengan suara ibu-ibu yang pergi ke pasar, memilih ikan segar, sayur-mayur, dan rempah-rempah yang baru dipetik dari kebun. Makan siang adalah ritual sederhana, dengan nasi hangat, lalapan, dan sambal yang dibuat dengan tangan. Sore dihabiskan dengan duduk di beranda, mengobrol sambil menyeruput teh atau kopi.
Sekarang, kehidupan berubah. Kota-kota besar berlari tanpa henti, dikejar waktu dan tuntutan ekonomi. Makanan cepat saji lebih mudah ditemukan daripada warung makan sederhana. Transportasi berbasis aplikasi membuat kita lebih jarang berjalan kaki. Waktu untuk duduk santai dan berbincang semakin langka.
Dan ini bukan hanya terjadi di Indonesia.
Di Amerika Serikat, perubahan gaya hidup seperti ini sudah lebih dulu terjadi, dengan dampak yang nyata. Tingkat obesitas tinggi, penyakit jantung merajalela, dan angka stres meningkat. Yang menarik, di Eropa, meski makanan dan kebiasaan mereka tampak serupa dengan Amerika, tingkat kesehatan mereka lebih baik. Apa rahasianya?
Jawabannya ada dalam tiga hal sederhana: kualitas makanan, keseimbangan hidup, dan cara mereka bergerak dalam keseharian.
Orang Eropa masih mempertahankan makanan yang lebih alami. Roti di Prancis dibuat dari tepung, air, garam, dan ragi, tanpa bahan tambahan berlebihan. Keju di Italia difermentasi secara alami. Bahkan makanan pokok seperti pasta dibuat dengan teknik tradisional yang menjaga nutrisinya. Bandingkan dengan makanan di Amerika yang diproses sedemikian rupa hingga kehilangan bentuk aslinya, penuh dengan pengawet, pewarna, dan gula tersembunyi.
Ini mengingatkan kita pada makanan di Indonesia dulu, sayur lodeh dari hasil panen sendiri, ikan yang dibeli langsung dari nelayan, tempe yang dibuat tanpa bahan tambahan aneh. Tapi kini, kita mulai kehilangan itu semua. Banyak makanan yang kita konsumsi kini telah melewati rantai produksi panjang, dengan bumbu instan, pemanis buatan, dan bahan kimia yang tidak kita kenal.
Lalu, ada cara orang Eropa bergerak dalam keseharian.
Mereka tidak selalu rajin olahraga, tapi mereka banyak berjalan kaki. Kota-kota mereka dirancang agar warganya bisa berjalan dengan nyaman, menggunakan transportasi umum, atau naik sepeda. Di sisi lain, Amerika sangat bergantung pada mobil. Setiap perjalanan, bahkan yang dekat, sering ditempuh dengan kendaraan pribadi.
Di Indonesia, kita pernah hidup seperti ini. Anak-anak berjalan ke sekolah, orang-orang berjalan ke pasar, dan petani mengolah sawah dengan tenaga sendiri. Sekarang, dari anak-anak hingga orang dewasa, kita lebih sering duduk. Naik motor untuk jarak pendek, memilih eskalator daripada tangga, menghabiskan waktu di depan layar lebih lama daripada di ruang terbuka.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!