Mungkin kita pernah bertanya-tanya, bagaimana bisa seseorang yang begitu sabar dan ramah di luar rumah, berubah menjadi sosok yang berbeda di dalam rumah?Â
Di ruang publik, mereka tampil sempurna, menjaga sikap dan tutur kata. Namun, di balik pintu rumah, emosi seolah lepas kendali.Â
Mereka menjadi mudah marah, kata-katanya kasar, bahkan tak ragu berteriak. Bayangkan, mereka mampu menghadapi klien yang sulit dengan kelembutan, tapi di rumah, adik atau orang tua mereka justru menerima luapan emosi.
Atau mungkin kamu sendiri pernah mengalami hal ini? Di luar, kamu berusaha sebaik mungkin untuk jadi orang yang sabar, tidak mudah terpancing emosi, dan selalu menjaga perasaan orang lain.Â
Tapi di rumah, kamu merasa lebih bebas, tidak perlu jaga image, dan akhirnya malah mudah meledak kalau ada sesuatu yang tidak sesuai keinginan.Â
Fenomena ini sering terjadi, bahkan bisa dibilang lumrah di banyak keluarga. Ini adalah bentuk double standard dalam cara kita memperlakukan orang lain —kita bisa sabar dengan teman, rekan kerja, atau bahkan orang asing, tapi dengan keluarga sendiri, kita justru lebih sering kehilangan kesabaran.Â
Kenapa bisa begitu? Apa penyebabnya? Dan yang lebih penting, apakah ini hal yang wajar atau justru sesuatu yang perlu kita perbaiki?
Fenomena ini sebenarnya punya beberapa penyebab utama. Yuk, kita bahas satu per satu!Â
1. Merasa Terlalu Nyaman dengan Keluarga
Pernah dengar istilah "rumah adalah tempat paling nyaman"? Nah, saking nyamannya, kadang kita jadi kelewat bebas dalam mengekspresikan diri, termasuk saat sedang kesal atau marah. Â
Di luar rumah, kita masih sadar diri bahwa ada norma sosial yang harus dijaga. Kalau ngomong seenaknya ke teman atau rekan kerja, bisa-bisa dijauhi atau malah kena teguran.Â
Tapi di rumah kita merasa tidak perlu pura-pura atau jaga image. Akhirnya, segala emosi yang mungkin kita tahan di luar justru dilepaskan ke keluarga.Â
Parahnya, kita juga sering berpikir, "Ah, mereka kan keluarga, pasti ngerti kok. Mau ngomong kasar atau marah-marah, toh mereka nggak bakal pergi." Tapi justru karena mereka keluarga, harusnya kita lebih jaga sikap, kan?
2. Ekspektasi Terlalu Tinggi ke Keluarga
Jujur deh, kamu pernah tidak merasa lebih pengertian dengan teman yang lama balas chat, tapi langsung bete kalau saudara sendiri yang begitu?Â
Atau, lebih mudah memaafkan teman yang lupa janji, tapi sulit menerima kalau itu terjadi pada orang tua?
Ini terjadi karena kita punya ekspektasi tinggi terhadap keluarga. Kita berpikir bahwa mereka harus lebih peka, lebih mengerti, dan lebih memahami kita dibanding orang lain.Â
Akibatnya, kalau ada hal kecil yang meleset dari ekspektasi, kita lebih mudah kecewa dan marah. Â
Padahal, keluarga juga manusia yang bisa lupa, bisa sibuk, dan bisa tidak selalu paham apa yang kita mau.Â
Hanya karena mereka lebih dekat, bukan berarti mereka harus selalu bisa membaca pikiran kita.Â
3. Tekanan dan Stres yang Tidak Tersalurkan
Banyak orang yang menjalani hari-hari penuh tekanan—entah dari pekerjaan, kuliah, bisnis, atau hal-hal pribadi.Â
Tapi di luar rumah, mereka tidak bisa sembarangan menunjukkan perasaan itu. Misalnya:Â
- Di tempat kerja, harus tetap profesional meskipun kerjaan numpuk. Â
- Di kampus, harus tetap terlihat oke meskipun tugas tidak ada habisnya.
- Di depan teman, tidak mau kelihatan lemah atau mudah stres. Â
Karena harus tahan terus di luar, begitu sampai di rumah, energi untuk menahan emosi sudah habis.Â
Jadilah keluarga yang kena imbasnya. Yang tadinya masih bisa bersabar di luar, di rumah langsung mudah tersulut. Â
Sayangnya, kebiasaan ini kalau dibiarkan bisa merusak hubungan keluarga. Harusnya, rumah itu jadi tempat untuk melepas penat, bukan malah jadi tempat untuk melampiaskan emosi negatif. Â
4. Norma Sosial yang Berbeda
Coba bayangkan kalau kita ngomel-ngomel ke atasan atau rekan kerja dengan nada tinggi—sudah pasti akan ada konsekuensi, entah dimarahi balik atau malah dijauhi. Karena ada aturan sosial yang mengikat, kita jadi lebih hati-hati dalam bersikap.Â
Tapi di rumah, tidak ada "hukuman" sosial yang langsung terasa. Kita tidak takut kehilangan keluarga hanya karena berkata kasar, beda kalau ngomong seenaknya ke teman atau bos.Â
Akhirnya, tanpa sadar, kita jadi lebih santun di luar dan lebih keras di rumah. Ini semacam mekanisme pertahanan diri untuk tetap "diterima" di lingkungan luar, tapi sebenarnya tidak adil bagi orang-orang terdekat kita.
Mungkin awalnya kita berpikir, "Ah, ini cuma di rumah aja kok, nggak ada yang bakal ngaruh ke kehidupan luar."
Tapi kalau dibiarkan terus, kebiasaan memperlakukan keluarga dengan kasar sementara ke orang lain lebih sabar ini bisa punya efek yang cukup serius. Apa saja? Ini dia!Â
1. Hubungan Keluarga Bisa Renggang atau Bahkan Rusak
Percaya atau tidak, kata-kata kasar dan perlakuan buruk yang terus-menerus itu bisa meninggalkan luka dalam di hati orang-orang terdekat kita.Â
Memang, mungkin mereka tidak langsung marah balik atau membalas dengan kasar juga, tapi lama-lama, hubungan bisa jadi dingin.Â
- Orang tua jadi malas berbicara karena takut dikasari. Â
- Saudara jadi menjauh dan lebih nyaman curhat ke teman dibanding ke kita. Â
- Rumah yang harusnya jadi tempat pulang yang nyaman malah terasa penuh tekanan. Â
Tidak jarang, ada orang yang lebih betah berlama-lama di luar rumah karena suasana di rumah udah nggak enak.Â
Akhirnya, komunikasi dalam keluarga berkurang, dan hubungan jadi semakin renggang.Â
2. Anak-Anak Bisa Meniru Perilaku Ini dan Membawanya ke Generasi Berikutnya
Kalau kita tumbuh di lingkungan yang isinya marah-marah, berbicara seenaknya, atau mudah emosi ke keluarga, besar kemungkinan kita akan terbiasa dan menganggap itu hal wajar.Â
Dan kalau kita tidak sadar untuk mengubahnya, pola ini bisa terus diwariskan ke anak-anak kita nanti. Â
Misalnya:Â Â
- Anak yang sering melihat orang tuanya kasar ke anggota keluarga lain bisa tumbuh dengan pola pikir bahwa "tidak apa-apa marah-marah ke keluarga, toh mereka tidak akan pergi." Â
- Mereka mungkin juga akan lebih sabar ke teman atau orang asing, tapi kasar ke saudara atau orang tua mereka sendiri. Â
- Bahkan lebih buruknya lagi, bisa jadi mereka juga akan memperlakukan pasangan atau anak-anak mereka kelak dengan cara yang sama. Â
Tanpa kita sadari, siklus ini bisa terus berulang dan menular dari satu generasi ke generasi berikutnya.Â
3. Bisa Menimbulkan Rasa Bersalah dan Penyesalan di Kemudian Hari
Bayangkan kalau suatu hari orang tua kita sudah tidak ada, dan kita baru sadar selama ini kita sering kasar ke mereka.Â
Atau mungkin saudara kita akhirnya menjauh karena tidak tahan dengan sikap kita. Â
Sering sekali, penyesalan baru datang setelah semuanya terlambat. Kita baru sadar betapa berharganya seseorang setelah dia pergi, dan sayangnya, tidak semua hal bisa diperbaiki.Â
- Pernah dengar orang yang menyesal karena dulu suka membentak orang tuanya, tapi sekarang tidak punya kesempatan untuk minta maaf?Â
- Atau ada saudara yang akhirnya memilih menjaga jarak karena lelah diperlakukan dengan buruk? Â
Kalau sudah sampai di titik ini, tidak ada yang bisa kita lakukan selain menyesali semuanya. Dan penyesalan itu bisa jadi beban mental yang sulit untuk hilang. Â
Jadi, kebiasaan ini bukan hanya membuat hubungan keluarga jadi tidak sehat, tapi juga bisa berpengaruh ke masa depan kita sendiri
Kalau terus dibiarkan, bukan hanya hubungan yang rusak, tapi juga ada kemungkinan kita akan menyesal di kemudian hari.Â
Jangan sampai kita kehilangan orang yang kita sayang hanya karena tidak bisa mengontrol emosi di rumah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI