Dan ketika semuanya gagal, mereka baru sadar dan menyesal, tapi kesempatan itu sudah terbuang sia-sia.
Adegan ini sebenarnya tidak hanya sekadar dramatisasi, tapi juga tamparan keras terhadap realitas di dunia nyata.
Kalau dipikir-pikir, fenomena seperti ini sering kali terjadi di sekitar kita. Banyak orang yang rela mengorbankan kebutuhan primer—hal-hal yang seharusnya jadi prioritas, seperti makanan, kesehatan, atau pendidikan—demi sesuatu yang tidak pasti.
Contoh paling mudah adalah judi, investasi bodong, atau gaya hidup konsumtif yang tidak sesuai kemampuan.
Coba deh lihat fenomena judi online yang semakin merajalela sekarang. Banyak orang, bahkan yang ekonominya sudah pas-pasan, tetap saja nekat untuk “mencari peruntungan” dengan harapan bisa dapat uang banyak dalam sekejap. Padahal, peluang untuk menang itu kecil banget, sementara resikonya jauh lebih besar.
Begitu kalah, bukannya berhenti, malah semakin terjebak dan terus mencoba untuk “balik modal” sampai akhirnya kehabisan segalanya. Tidak hanya uang yang habis, tapi juga ketenangan hidup.
Hal yang sama juga terjadi dalam investasi bodong. Siapa sih yang nggak kepincut kalau ada tawaran cuan instan?
Tapi sayangnya, banyak yang tidak berpikir panjang dan tidak peduli apakah skema itu masuk akal atau tidak.
Yang penting asal duitnya muter dan keliatan untung, mereka gaspol. Ujung-ujungnya, duit ludes, utang numpuk, dan mereka baru sadar kalau semuanya hanya ilusi.
Tidak hanya itu, budaya konsumtif juga sering membuat orang terjebak dalam siklus keuangan yang kacau.
Demi gengsi atau agar terlihat “sukses”, banyak yang lebih memilih beli barang branded, gadget terbaru, atau liburan mewah daripada memenuhi kebutuhan yang lebih mendesak. Bahkan ada yang sampai rela berutang demi gaya hidup yang sebenernya tidak mereka mampu.