Mohon tunggu...
Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Author | Analyst

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Baca Dulu, Jempol Kemudian

8 September 2018   18:11 Diperbarui: 9 September 2018   10:43 1715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.india.com

Bukan. Saya bukan orang yang iri hati, apalagi dengki. Menurut saya---setelah membacanya dengan tuntas---sang penulis memang pantas diapresiasi setinggi langit.

Sekali lagi, setelah membacanya dengan tuntas.

Di situlah saya merasa heran. Arus jempol dan lantunan pujian kepada sang penulis, sudah dimulai hanya satu menit setelah foto artikel dikirim. Padahal, untuk menuntaskannya, saya membutuhkan waktu sekitar 5 hingga 10 menit. Atau jika dipaksa membaca secara cepat, paling cepat dibutuhkan waktu selama 3 menit. Itu hanya untuk menuntaskan bacaan, belum tentu mengerti maknanya.

Pertanyaannya, apakah artikel yang sudah susah payah ditulis, dan berhasil naik cetak di kolom opini harian Kompas yang terkenal sangat selektif, sudah dibaca dengan tuntas oleh para pemilik jempol?

Jika sudah, bagus. Ia pasti memiliki kecepatan membaca di atas rata-rata orang dunia, yang "hanya" sekitar 200 hingga 300 kata dalam semenit. Ditambah, ia membaca hanya dengan bermodalkan foto yang ditampilkan dalam layar smartphone. Mungkin ia juga bisa menantang Howard Berg, yang kini masih tercatat dalam The Guinness World Record Book, sebagai pembaca tercepat dengan kecepatan membaca hingga lebih dari 25 ribu kata per menit.

Namun apabila belum, pantaslah bila UNESCO menempatkan Indonesia pada peringkat kedua dari bawah, di antara 61 negara lainnya dalam urusan literasi. Jangan salahkan pula ketika Trinity---penulis buku wisata The Naked Traveler---memutuskan untuk pensiun sebagai penulis buku.

Minat baca Indonesia masih rendah | sumber gambar: slidemodel.com dan georgetownpl.org (diolah dan disajikan kembali dalam bentuk infografis)
Minat baca Indonesia masih rendah | sumber gambar: slidemodel.com dan georgetownpl.org (diolah dan disajikan kembali dalam bentuk infografis)
Kejadian sederhana tersebut, sontak menyadarkan saya. Betapa rendahnya minat baca saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air. Tidak salah apabila kini toko buku lebih banyak menjual perlengkapan sekolah dan olahraga, dibandingkan dengan produk utamanya, yaitu buku itu sendiri.

Oke, mungkin ada yang berpendapat bahwa ini era millenial. Bisa jadi ribuan lembar kertas, telah digantikan dengan ribuan megabyte digital. Namun ketika melihat kecepatan rekan lainnya dalam mengirim pujian, saya kembali sangsi.

Jangankan sebuah buku yang tebal. Membaca judul dan nama penulis dalam sebuah artikel opini lewat smartphone saja, sudah buru-buru mengacungkan jempol. Mungkin perilaku inilah yang menyebabkan sekarang banyak bermunculan artikel click-bait semata, yang isinya (mohon maaf), terkadang tidak menyajikan banyak manfaat, dan hanya mengejar rating popularitas search engine optimization (SEO) semata.

Tentu saya berharap, bahwa sebagian besar pembeli harian Kompas edisi 31 Juli 2018 dan pelanggan setia kompas.id, membaca artikel kawan saya dengan tuntas. Atau minimal, memahami sebagian besar isi gagasannya dengan membaca tiga per empat tulisannya.

Tiga Kepuasan Menulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun