Mohon tunggu...
Pendidikan

Moral Intelektual Tumbuh Tak Bertaji

12 Juli 2018   14:55 Diperbarui: 12 Juli 2018   14:52 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ini mungkin sebuah mimpi, dijaman moderenisasi dan globalisai segala tuntutan akan kebutuhan menjadi prioritas, seketika hadirlah sosok intelektual yang tidak berpikir soal material reward, soal hadiah mobil, rumah dan sebagainya, seketika mareka juga tidak berpikir keuntungan-keuntungan politik. Di mana Hasil kerja mareka, arah pengembaraan berpikir mareka, dibimbingi oleh iman, teori dan fakta, sehingga tidak ada tembok yang terlalu tebal yang tidak dapat ditembus, tidak ada gunung yang terlalu tinggi yang tidak dapat didaki. Selama iman, teori dan fakta mengarahkan mareka kesana. Namun seketika adanya intelek yang doyan dengan hadiah ynag berbentuk materi, yang dapat membelokan arah penjelasan teori terhadap fakta yang dihadapi, kadar intelektualnya patut diragukan (Imawan:1998).

Lalu bagaimana jika intelektual yang ikut kedalam politik praktis? Jawabannya adalah kemungkinan besar terjadinya benturan dua tradisi, yakni politik dan intelektual, kalau awalnya tidak diragukan mareka berpikir jernih dan tidak memihak; maka begitu mareka masuk kepangung politik akan sangat sulit mempertahankan kerjenihannya (Imawan: 1998) semua ini terbukti dimana fakta telah terjadi, yakni pada masa ORBA, banyak kaum intelektual melawan otoritarisme kekuasan pemerintah, namun seketika masa reformasi marekalah yang berpranan penting menghancurkan bangsa, dengan berkecimpung didunia politik, dimana yang tadinya mareka bebas mengembara, kini harus dituntun oleh ideologi dan petunjuk partainya, mareka dibutuhkan bukan untuk merancang konsep, tetapi memberi alasan ilmiah terhadap hal-hal yang sudah digariskan.

Seketika infrastruktur pngiran, perbatasan, dan plosok tidak merata dalam hal pembangunan, serta kebijakan yang tidak pro rakyat, dan parlemen pecah dengan terbagi dua kubu, disinilah pranan intelektual perlu dipertanyakan dimanakah marek?? Tanpa ada pergerakan hal semacam ini tidak akan serta merta dapat terbangun dengan sendirinya, tanpa ada peregrakan bisa dikatakn moral intelektual tumbuh tak bertaji. namun ironis seketika ada masyarakat tertindas, ada balita busung lapar, dan infrastruktur rusak parah, penuh diaplod di media internet dengan komentar mengagap hal semacam itu adalah sebuah kelucuan, sekali lagi menjadi sebuah pertanyaan dimanakah hati nurani mareka?

Sadarkah seblum NKRI menjadi harga mati, masyarakat pingiran, perbatasan, dan plosok, telah hidup didalam naungan alam yang begitu bersahaja. Seketika garuda dan pancasila terbentang didada, tanpa disadari etika akan kesadaran dan budaya lokal semakin luntur, kaum pingiran seperti tak diperhitungkan. 

Seketika jalan dipingiran bukan Truk, Bukan Tronton, Bukan Mobil, namun motor yang Amblas karena lumpur masihkah kita mengagap itu sebuah kelucuan? Seketika anak yang berumur 5/6 tahun harus mandi jam 3 dan berangkat kesekolah jam 4 dan datang harus terlambat karena di desanya tidak ada sekolah, masikah kita mengagap itu sebuah kelucuan? Dan seketika ada orang yang melahirkan, ada orang yang sakit, utuk mencapai rumah sakit, harus dipikul 1-2 hari, apakah ini masih sebuah kelucuan? Hendaklah kita berpikir, bahwa sesunguhnya bukanlah ini tujuan dari para pahlawan membentuk sebuah NKRI dalam ranah perjuangan dengan megorbankan nyawa mareka. 

Namun demi sebuah kemardekaan, persatuan, kesatuan, adil dan makmur. Jika permasalahan diatas masih dihadapi oleh masyarakat pingiran, betulkah kemerdekaan itu sudah terwujud? kemerdekaan yang telah kita rayakan berpuluh-puluh tahun? Tanpa kesadaran bahkan tanpa perlawanan pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab!! Jika hanya berdiam diri silahkan tanya kepada rumput-rumput yang bergoyang!!!

Sejatinya, tidak ada satu katapun yang sangup memaksa intelektual untuk mengambil keputusan yang menguntungkan satu pihak. Tapi keadaan ini tidak pernah tercipta. (Ladd dan lipset 1975) menyebutkan tiga alasan utama yang menjadi kendala yakni: dunia kampus dimana intelek berasal dan berada lebih dipandang sebagai lembaga pegodokan, kawah candradimuka bagi calon-calon pemimpin dalam masyarakat. 

Disini dipertaruhkan masa depan satu masyarakat. Ini yang menyebabkan pemerintah memandang  perlu menitipkan atau menyisipkan, misi dan pesan khusus dalam kehidupan kampus, yakni apapun hasil kerja dunia kampus, tidak sampai megoyahkan rasa persatuan dan kesatuan NKRI, (Imawan: 1998). 

Sehingga pesan ini tertanam didalam semagat juang intelek, padahal dengan menuntut perubahan akan adil, makmur dan merata, hal yang wajar dan tidak akan memecahkan kesatuan NKRI, malah yang terjadi sebaliknya, entah paradigma apa para pemerintah berpesan seperti itu, ini menjadi tanda tanya besar?

Kedua dunia kampus lebih banyak berfungsi sebagai batu loncatan, bisa melompat menjadi elit, dan melompat untuk menjadi kaya dalam bidang materi. Ini tidak mengherankan, sebab dijaman moderen ini tidak ada yang namanya sekolah gratisan, disini mulai berbicara perhitungan ekonomi, bagi bangsa dan negara, para mahasiswa, para2 calon intelektual, (imawan:1998). 

Disinilah cobaan terberat kaum intelek membawa perubahan, disatu sisi kaum intelek dibebani akan perubahan disatu sisi berimbas terhadap pemenuhan tangung jawab terhadap klurga dan pribadi. Seketika makna akan prubahan hanya merupakan sebuah bias, yang terpenting bagaiman setelah selesai kuliah bisa dapat pekerjaan, demi kebahagian kelurga juga pemenuhan kebutuhan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun