Mohon tunggu...
Nurcholis ART
Nurcholis ART Mohon Tunggu... -

Penikmat Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Radio Komunitas dan Upaya Membangun Kesadaran Akan Bencana

6 Juli 2017   05:16 Diperbarui: 6 Juli 2017   05:20 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai alternatifnya, kita bisa memanfaatkan posisi media komunitas untuk melakukan fungsi tersebut. Media komunitas dapat menjadi antitesis dari tsunami informasi yang bergelimangan hari ini. Hal ini dapat dimungkinkan karena---jika---media komunitas menempatkan diri sebagai media yang memang diperuntukkan untuk suatu komunitas.

Walaupun sebenarnya tiap media sebenarnya mampu menghidupkan aspek kekomunitasan. Namun, media komunitas berbeda dari media lainnya. Ia dapat menghidupkan aspek kekomunitasannya secara eksplisit. Media komunitas juga memungkinkan kelompok sosial untuk mengekspresikan diri tanpa keterlibatan pihak lain dan berperan pada keberagaman informasi di Indonesia.

Salah satu media komunitas yang bisa dimanfaatkan salah satunya adalah radio. Keunggulan yang paling mencolok dari radio adalah sifatnya yang hanya membutuhkan teknologi sederhana dan tidak mahal.

Radio komunitas dalam kebencanaan. (FOTO/Linkedin)
Radio komunitas dalam kebencanaan. (FOTO/Linkedin)
Perihal pemanfaatan radio komunitas dalam penganggulangan kebencanaan sebenarnya telah banyak dilakiukan. Misalnya saja yang terjadi pada bencana erupsi Gunung Sinabung. Radio komunitas saat itu berperan dalam memberikan informasi di berbagai titik daerah rawan bencana.

Radio komunitas juga terbukti dapat menjadi motor pembangun kesadaran warga akan bencana dalam kasus bencana tanah longsor Si Jemblung, Banjarnegara. Di sana radio komunitas dapat meyakinkan masyarakat untuk berhati-hati jika hujan berlangsung selama lebih dari 6 jam. Karena kemungkinan besar longsor akan terjadi. Di sana, radio komunitas juga dapat memberikan hiburan. Saat itu, ada salah satu warga setempat yang kehilangan anggota keluarganya akibat longsor,lalu ia ikut bergabung menjadi penyiar radio.

Contoh lain dari pentingnya peran radio komunitas dapat dilihat dalam kasus krisis pangan di Sumba Timur. Saat di sana stok pangan menipis akibat gagal panen pada 2014, masyarakat memilih masuk ke hutan dan mengambil Iwi untuk dimakan agar dapat bertahan hidup.

Iwi merupakan umbi-umbian yang mengandung sianida dalam konsentrasi tinggi. Selain beracun, untuk mendapatkan Iwi pun butuh perjuangan.Warga harus masuk hutan dengan medan yang berat dan butuh waktu duajam perjalanan pulang-pergi.

Pada kasus tersebut, radio komunitas---Max FM Waingapu---dapat menjadi antitesis aliran informasi yang tak menguntungkan masyarakat.

Saat itu, berita terkait masyarakat yang memakan Iwi menyebar dengan cepatdan membuat beragam tanggapan berdatangan. Salah satunya tanggapan Frans Lebu Raya, Gubernur Nusa Tenggara Timur yang dimuat ditempo.co. Frans membantah warga memakan Iwi karena kelaparan. 

Menurutnya, Iwi merupakan salah satu pangan lokal yang sering dimanfaatkan warga saat musim kemarau. Konsumsi Iwi memang merupakan tradisi yang diwariskan leluhur, namun luntur karena program penyeragaman pangan oleh Orde Baru.

Namun pernyataan itu dianggap keliru oleh warga, seperti diceritakan oleh Heinrich D. Dengi, Direktur Max FM Waingapu. Bagaimana mungkin warga yang tidak kekurangan pangan harus rela masuk ke hutan dengan medan yang sulit untuk mencari Iwi. Selain itu, proses pengolahan Iwi pun butuh waktu paling tidak satu minggu. Nah fungsi Max FMWaingapu adalah sebagai medium counter---salah satunya---terhadap tanggapan Frans Lebu Raya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun