Mohon tunggu...
Nur Jannah
Nur Jannah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nur Jannah

Hello

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahaya Hoaks dan Disinformasi Covid-19

16 September 2021   21:46 Diperbarui: 16 September 2021   21:50 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hampir 2 tahun dunia dilanda pandemi COVID-19. Upaya pengendalian pandemi terus dilakukan meliputi vaksinasi, penguatan 3M & 3T. Namun, tak cukup sampai disitu. Upaya pengendalian pandemi bukan hanya soal memutus rantai penyebaran virus. Akan tetapi juga menghadapi gangguan infodemik seputar COVID-19 dengan memutus rantai hoaks dan disinformasi terkait pandemi. 

Dirjen IKP Kementrian Informasi dan Informatika Indonesia (Kemkominfo), Usman Kansong mengatakan hoaks tumbuh subur pada masa krisis atau ketika terdapat dinamika tinggi dalam masyarakat. T

erlebih, di situasi pandemi yang tergolong multikrisis, karena terjadi krisis kesehatan sekaligus krisis ekonomi. Selama periode Januari 2020 hingga Agustus 2021, Kemkominfo telah menemukan 4.596 hoaks terkait isu COVID-19.

Tingginya laju penyebaran hoaks dan disinformasi tentu berpotensi memperburuk situasi pandemi. Secara keseluruhan, hoax dan disinformasi yang terjadi selama pandemi COVID-19 terbagi menjadi 3 kategori :

  • Disinformasi yang berhubungan dengan kesehatan
  • Teori konspirasi
  • Penipuan

Contohnya seperti "Pandemi adalah konspirasi dari China", "Pandemi adalah buatan pemerintah", "penanaman chip dalam vaksin", dan masih banyak lagi. Masih banyak pula masyarakat yang mempercayai hal tersebut. Bahkan beberapa diantaranya menjadi korban setelah tidak mau memeriksakan diri karena tidak percaya akan adanya COVID-19.

Menyebarluasnya hoax dan disinformasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

  • Rendahnya literasi digital
  • Kurangnya kecakapan masyarakat dalam menggunakan media digital menjadi salah satu penyebab utama maraknya hoaks dan disinformasi. Banyak masyarakat yang kurang memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi hoaks serta rentan ikut menyebarkan informasi hoaks. Seringkali informasi hoaks yang beredar justru menyebar dari platform WhatsApp, dimana WA tidak memiliki kemampuan factchecker untuk mendeteksi adanya hoaks dan disinformasi. Sehinggan masyarakat menelan utuh-utuh berita yang sampai kepada mereka tanpa melakukan pengecekan ulang. Masyarakat juga perlu diedukasi untuk menggunakan sumber yang terpercaya dalam memperoleh informasi, sehingga informasi tersebut dapat dipastikan kebenarannya dan dapat dipertanggungjawabkan.
  • Distrust masyarakat terhadap pemerintah
  • Tidak bisa kita pungkiri bahwa pengendalian pandemi khususnya di Indonesia masih sangat jauh dari kata ideal. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belum tepat sasaran dan seringkali justru mementingkan aspek ekonomi dibanding aspek kesehatan masyarakat. Ditambah lagi, adanya kasus korupsi dana sosial dan korupsi lainnya yang semakin melukai hati masyarakat. Masyarakat yang juga mulai lelah dengan himpitan pandemi akhirnya memicu munculnya distrust terhadap pemerintah. Dengan begitu, hoaks dan disinformasi semakin mudah dipercaya oleh masyarakat. Masyarakat mulai berpikiran bahwa pandemi merupakan skenario yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Padahal sebenarnya pandemi merupakan sesuatu fenomena alam yang terjadi diluar kuasa manusia. Sayangnya, pemerintah sejauh ini tidak berhasil dalam menyelesaikan problem pandemi di Indonesia.

Pengendalian peredaran informasi memerlukan peran individu, masyarakat, dan negara. Hal ini disoroti aktivis Islam, Dr. Fika Komara, yang melihat disinformasi tentang Covid-19 di media sosial rupanya sedang diperjuangkan di Indonesia dan di seluruh dunia, termasuk Gedung Putih AS. Dr. Fika menilai, kegagalan menghentikan arus disinformasi tentang Covid-19 sebenarnya merupakan bentuk kebingungan tatanan sistem dunia saat ini dalam mengolah informasi.

 Dari perspektif politik informasi, ketahanan suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuannya dalam tiga tahapan pengolahan informasi, yaitu menyaring, memetakan, dan memutuskan respons yang tepat dan benar terkait informasi. 

Menurutnya, ini semua kembali kepada kapasitas daya tahan informasi di semua level, baik kapasitas berpikir manusia---pada level terkecil---maupun kapasitas ideologis suatu negara. Aliran disinformasi ini makin dirumitkan dengan hilangnya kepercayaan publik terhadap banyak rezim kapitalistik yang sejak awal menunjukkan ketakmampuannya. Ini sejalan dengan kebijakan publik yang ambigu, tidak konsisten, sporadis, dan defensif.

Cara Islam Menangani Disinformasi dan Hoaks

Islam memiliki warisan aturan pembuatan kebijakan yang benar dengan kapasitas untuk merespons dan memproses informasi, betapa pun rumitnya. Ketika ada masalah tasyr' (legalisasi hukum syariat), misalnya, hanya wahyu Allah yang berperan di ranah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun