Mohon tunggu...
Nita Rachmawati
Nita Rachmawati Mohon Tunggu... GURU MAN BULELENG

Mendengarkan Podcast Edukatif dan Self -Growth

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menanam Harmoni di Tanah Kebijakan: Tri Hita Karana dan Wajah Pembangunan Bali

12 Oktober 2025   06:57 Diperbarui: 12 Oktober 2025   06:57 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tata Kelola Taman Kota Denpasar (Sumber: Dok.Balebengong)

Secara sederhana, Tri Hita Karana berarti "tiga penyebab kebahagiaan." Tiga unsur tersebut mencakup Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan manusia dengan sesama), dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam). Filsafat ini lahir dari pandangan hidup masyarakat Bali yang melihat kehidupan sebagai jaringan hubungan yang saling terkait dan harus dijaga keselarasan-nya. Ketika satu unsur terganggu, seluruh sistem harmoni pun goyah.

Dalam konteks pembangunan daerah, Tri Hita Karana bukan sekadar konsep budaya, tetapi paradigma etis yang dapat dijadikan dasar perencanaan kebijakan. Parahyangan menuntun agar pembangunan berpijak pada nilai spiritual dan moral, bukan hanya keuntungan material. Pawongan mengingatkan bahwa pembangunan sejati harus memanusiakan manusia,memberi kesejahteraan tanpa menimbulkan kesenjangan sosial. Sementara Palemahan menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan ekologis agar kemajuan tidak menimbulkan bencana bagi alam.

Pembangunan Bali: Antara Kemajuan dan Kehilangan Arah

Beberapa tahun terakhir, wajah pembangunan Bali menunjukkan dinamika yang kompleks. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali tahun 2024 mencatat peningkatan investasi properti dan pariwisata mencapai 12% per tahun, terutama di wilayah selatan seperti Badung dan Gianyar. Namun, di sisi lain, lahan pertanian berkurang drastis, dan beberapa kawasan suci seperti pura di sekitar pantai menghadapi ancaman abrasi akibat eksploitasi ruang.

Fenomena ini menunjukkan adanya ketegangan antara visi pembangunan modern dengan nilai-nilai lokal yang dijunjung masyarakat Bali. Banyak kebijakan pembangunan daerah masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan dan keseimbangan sosial. Akibatnya, muncul gejala "paradoks kemajuan": Bali tampak makmur secara ekonomi, namun rapuh secara ekologi dan spiritual.

Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, Tri Hita Karana menawarkan pendekatan pembangunan yang lebih berkelanjutan. Sejumlah penelitian, seperti yang dilakukan oleh Universitas Udayana (2023), menunjukkan bahwa desa-desa yang menerapkan prinsip Tri Hita Karana dalam pengelolaan sumber daya lokal memiliki tingkat kepuasan sosial dan ketahanan lingkungan yang lebih tinggi. Contohnya bisa dilihat pada Desa Panglipuran di Bangli, yang menerapkan konsep keseimbangan antara tata ruang, kegiatan sosial, dan nilai spiritual. Desa ini tidak hanya bersih dan tertata, tetapi juga menjadi ikon wisata budaya yang berkelanjutan.

Manajemen dan Kebijakan yang Berjiwa Tri Hita Karana

Dalam manajemen organisasi dan pemerintahan, nilai Tri Hita Karana dapat diterjemahkan ke dalam tiga prinsip dasar: etika spiritual, etika sosial, dan etika ekologis. Etika spiritual berarti setiap kebijakan harus mengandung nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab moral kepada Sang Pencipta. Etika sosial menekankan keadilan, kebersamaan, dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Sedangkan etika ekologis mengingatkan perlunya keseimbangan antara eksploitasi sumber daya dan pelestarian alam.

Pemerintah daerah Bali sebenarnya telah berupaya mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kebijakan publik, seperti melalui Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang menekankan pembangunan berbasis budaya dan lingkungan. Namun, implementasi di lapangan sering kali menghadapi kendala, seperti tumpang tindih kepentingan ekonomi, lemahnya pengawasan lingkungan, dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya nilai-nilai THK.

Di dalam, visi "Nangun Sat Kerthi Loka Bali" menegaskan upaya menjaga kesucian dan keharmonisan alam beserta isinya sebagai implementasi langsung dari prinsip THK. Dengan demikian, pembangunan di Bali idealnya bukan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada keseimbangan ekologis dan kesejahteraan sosial masyarakat.

Di sisi lain, beberapa organisasi lokal dan komunitas adat menunjukkan praktik baik dalam menghidupkan semangat THK di tingkat mikro. Misalnya, sistem subak, organisasi tradisional pengairan sawah tidak hanya berfungsi mengatur distribusi air, tetapi juga menjaga harmoni sosial dan spiritual antara petani, alam, dan Tuhan. Sistem ini diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia karena berhasil memadukan nilai kearifan lokal dengan prinsip ekologi modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun