Mohon tunggu...
Nita Rachmawati
Nita Rachmawati Mohon Tunggu... GURU MAN BULELENG

Mendengarkan Podcast Edukatif dan Self -Growth

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pendidikan Tak Cukup Sekadar Semangat: Apakah Kita Butuh Pedoman dan Ujian Ulang?

25 September 2025   05:23 Diperbarui: 25 September 2025   05:23 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semangat Guru dan Siswa serta Pedoman Kurikulum (Sumber: rakyat.news))

Pendahuluan: Semangat Membara Tanpa Arah, Apakah Pendidikan Kita Terombang-ambing?

Bayangkan seorang guru sebagai tukang perahu di danau yang tenang. Ia berdiri di haluan, dayungnya mengayuh pelan namun pasti. Semangatnya seperti cahaya fajar yang mengusir kabut, memberi harapan pada tiap permukaan air yang basah. Di belakangnya, para siswa duduk diam di perahu, mendengar, mencatat, berharap ombak ujian tak menyapu pemahaman mereka yang rapuh. Namun tanpa papan arah (pedoman) dan peta evaluasi (ujian ulang), guru itu seperti berlayar di tengah kabut, tak tahu apakah berlabuh di pasir indah atau tersangkut di karang terpendam.

Inilah yang saat ini terjadi. Semangat siswa tampak nyata: siswa tertawa, terpukau, penuh antusias saat belajar. Tapi saat lembar evaluasi dibagikan, soal yang terasa jauh dari aktivitas harian, materi abstrak menyapa, banyak siswa tampak ragu: apakah mereka benar-benar memahami atau hanya menghafal? Semangat menyala, tetapi tanpa pijakan, cahayanya tak cukup menerangi jalan.

Di panggung yang lebih besar, data PISA 2022 membunyikan alarm: skor literasi membaca siswa Indonesia hanya 359 poin, menurun dari pencapaian di PISA 2018. Skor matematika dan sains juga ikut meredup dibanding sebelumnya. Banyak pihak pun berpikir keras: apakah hanya semangat yang diperlukan? Ataukah kita juga butuh pedoman konkret dan evaluasi tajam agar tidak tersesat di tengah ambisi reformasi pendidikan?

Pendidikan bukanlah urusan sekolah saja tapi melekat dalam keluarga, komunitas, dan masa depan bangsa. Bila sistem pendidikan hanya mengandalkan motivasi tanpa kerangka aturan dan pengujian ulang, maka ketidakmerataan bisa meluas, tekanan sosial makin berat, dan hasil belajar tetap jauh dari harapan. Kini, saatnya menyelami lebih dalam: seberapa jauh semangat anak didik dan guru dijawab oleh pedoman dan evaluasi yang nyata?

Kurikulum Baru, Harapan Baru, Tapi Realitas di Kelas Masih Berbeda

Indonesia berada di persimpangan pendidikan. Kurikulum Merdeka hadir sebagai respons atas tantangan pasca pandemi dan ancaman learning loss, membawa harapan pada pembelajaran yang lebih relevan dan adaptif. Namun di lapangan, guru banyak yang melaporkan bahwa kesiapan belum merata, sebagian memahami konsep, tetapi kesulitan merumuskan modul ajar, menyusun asesmen diagnostik, atau menyesuaikan metode dengan konteks lokal.

Data PISA 2022 makin mempertegas kebutuhan pembaruan, literasi membaca merosot ke angka 359, dan matematika tidak luput dari penurunan dari skor 379 ke 366 dibanding 2018. Fakta ini meneguhkan bahwa meskipun reforma terus digaungkan, hasilnya belum menyentuh semua penjuru tanah air secara merata.

Semangat saja bagai lentera kecil di lorong gelap masyarakat yang terbelah oleh jurang ekonomi dan geografis. Di satu sisi, anak-anak dari keluarga menengah ke atas di kota besar punya akses internet cepat, bimbingan tambahan, laboratorium praktikum lengkap, semuanya memperkuat pedoman dan evaluasi dalam pendidikan mereka. Tetapi di sisi lain, di daerah terpencil atau di kampung pesisir, fasilitas belajar bisa terbatas: buku tidak banyak, listrik sering padam, internet lemah, guru bantuan minim.

Secara budaya, masyarakat yang sangat menghargai prestasi akademik sering menekan siswa agar mendapatkan nilai tinggi sebagai simbol kehormatan keluarga. Tapi jika pedoman kurikulum tidak jelas dan evaluasi hanya berdasarkan hasil ujian standar, maka tekanan ini bisa menimbulkan stres, kehilangan makna, dan kecenderungan pembelajaran yang hanya menghafal tanpa pemahaman. Ekonomi pun memainkan peran: orang tua yang harus bekerja keras untuk membeli akses tambahan atau memperbaiki fasilitas rumah dengan sedikit penghasilan, seringkali bergantung pada semangat anak, tanpa pedoman konkret yang bisa menggandeng dan memanfaatkan kondisi tersebut secara efektif.

Kondisi seperti ini membuat semangat besar dari Siswa dan guru di ujung timur atau pelosok Nusantara terkadang seperti bara yang susah dijangkau angin: muncul dengan semangat, namun cepat meredup tanpa landasan pedoman yang kuat atau evaluasi yang mendalam. Dengan latar ini, pertanyaan "Pendidikan Tak Cukup Sekadar Semangat: Apakah Kita Butuh Pedoman & Ujian Ulang?" menjadi pusat penting: sejauh mana semangat bisa bermakna tanpa aturan dan evaluasi sistematis? Bagaimana regulasi dan refleksi dapat memperkuat proses pembelajaran? Dan bagaimana semua pihak, guru, sekolah, orang tua, kebijakan pusat dapat bersama memperbaiki aspek yang belum optimal agar pendidikan menjadi bermakna dan adil?.

Mind Mapping Tujuan Filsafat Pendidikan
Mind Mapping Tujuan Filsafat Pendidikan

Inspirations, Rules & Reflections: Tiga Nafas Pendidikan yang Tak Boleh Terlewat

Agar pendidikan tidak menjadi sekadar slogan, kita perlu memahami tiga pilar esensial:

  • Inspiratif (Semangat/Visi): Menumbuhkan gairah, mimpi, makna belajar. Tanpa inspirasi, kelas cepat menjadi rutinitas kosong. Filsafat pendidikan juga mengambil inspirasi dari tokoh global. John Dewey, misalnya, menekankan bahwa pendidikan harus berbasis pengalaman. Paulo Freire mengingatkan bahwa pendidikan adalah jalan menuju pembebasan, bukan sekadar penyeragaman.
  • Preskriptif (Pedoman / Struktur): Kurikulum, standar kompetensi, metode, norma ini adalah kerangka agar ruang kelas tidak melanggar arah. Preskriptif juga hadir dalam nilai-nilai yang disepakati. Guru dituntut tidak hanya mengajar dengan benar, tetapi juga menanamkan kejujuran, disiplin, dan rasa tanggung jawab. Siswa tidak hanya diajarkan rumus, tetapi juga dilatih bekerja sama, menghargai perbedaan, dan peduli pada lingkungan
  • Investigatif (Evaluasi / Ujian Ulang / Refleksi): Agar tindakan pendidikan tidak statis. Lewat evaluasi dan refleksi, kita menguji apakah apa yang dijalankan efektif atau perlu disesuaikan. Teori progresivisme, humanisme, dan kritik pendidikan semuanya menyajikan satu pesan: inspirasi memberi nyawa, pedoman memberi kerangka, dan evaluasi menjaga agar sistem terus berkembang.

Semangat Meluap, Tapi Hasil Tak Tertangkap, Di Mana Posisi Pedoman & Evaluasi?

Semangat di sekolah nyata, guru bekerja keras, siswa belajar ekstra, orang tua mendukung. Namun realitas menunjukkan bahwa semangat semata tidak cukup. Banyak guru belum siap menerapkan Kurikulum Merdeka secara menyeluruh: modul ajar belum matang, asesmen tak sesuai konteks, fasilitas terbatas, dan pemahaman pedoman belum seragam.

Studi di sekolah dasar menunjukkan: guru bisa memahami konsep dasar, tetapi menghadapi hambatan saat modul belum kontekstual, fasilitas terbatas, atau dukungan teknis tidak konsisten. Di sekolah di daerah terpencil, keterbatasan internet atau referensi buku memperlambat adaptasi terhadap kebijakan baru. Skor PISA 2022 menjadi sinyal bahwa upaya reformasi belum berhasil menembus akar masalah pendidikan. Di wilayah perbatasan, sekolah sering minim buku, tanpa akses internet, pelatihan guru langka, dan supervisi jauh. Semangat guru tinggi, tetapi sulit diwujudkan jadi praktik nyata.

Optimisme vs Kritik: Apakah Reformasi Sudah Seimbang?

Sebagian pihak optimis bahwa Kurikulum Merdeka dan kebijakan evaluasi seperti Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) memberi ruang bagi kreativitas guru, relevansi lokal, dan penilaian bermakna, menggeser paradigma ujian nasional yang terlalu mengejar hafalan.

Namun kritik muncul: banyak guru, sekolah, dan daerah belum memiliki pedoman operasional kuat, dukungan teknis, dan budaya evaluasi reflektif. Tanpa elemen preskriptif dan investigatif yang kokoh, semangat bisa menjadi wacana kosong. Perbedaan pandangan ini memperkaya diskusi: bagaimana agar kita tak terjebak optimisme manis tanpa tindakan, atau pesimisme yang mematikan semangat perubahan.

Dari Meja Guru ke Meja Rumah: Apa yang Bisa Kita Lakukan Mulai Sekarang?

Untuk Guru: Jangan hanya memberi motivasi, pelajari pedoman kurikulum, ikuti pelatihan, dan refleksikan metode setiap siklus pengajaran. Jadilah peneliti kecil di kelas Anda sendiri.
Untuk Sekolah & Pemerintah Lokal: Pastikan fasilitas memadai, dukungan teknis tersedia, dan evaluasi internal berjalan. Pedoman lokal harus relevan dan mudah diterapkan.

Untuk Siswa & Orang Tua: Siswa perlu tahu tujuan pembelajaran, bukan hanya nilai. Orang tua bisa mendukung dengan menyediakan sarana belajar dan menjalin komunikasi aktif dengan sekolah. Untuk Kebijakan Nasional: Buat pedoman yang jelas tapi adaptif, sediakan monitoring dan evaluasi jangka panjang, dan pastikan reformasi bukan sekadar retorika.

Semangat Harus Dilabuhkan, Pedoman Disusun, Ujian Ulang Dijalankan

Semangat belajar memang mercusuar yang menyala, tetapi mercusuar tanpa pondasi bisa roboh dalam badai. Untuk pendidikan Indonesia yang benar-benar bermakna, kita memerlukan pedoman yang jelas dan ujian ulang yang konsisten. Bila inspirasi, struktur, dan evaluasi bersinergi, pendidikan tidak lagi sekadar panggung kata, melainkan perjalanan nyata penciptaan manusia yang berdaya. Hal ini mengundang refleksi dan aksi: mari kita dorong pendidikan yang bukan hanya penuh semangat, tetapi juga kokoh dalam struktur, dan selalu terbuka untuk diuji dan diperbaiki.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun