Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 - People Choice Kompasiana Awards 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kita Teman Seperjalanan dalam Memahami Dunia Seksualitas, Nak

19 April 2022   06:30 Diperbarui: 28 April 2022   13:41 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Artikel/Sumber : Unsplash.com

Gadget sudah jadi kebutuhan sekaligus gaya hidup. Bukan berita baru jika anak semakin mudah terpapar pornografi. Banyak sekali di sekitar kita kenyataan anak terpapar porno.

Pagi itu seperti biasa saya menemani aktivitas anak-anak belajar. Perhatian saya tiba-tiba tertuju pada seorang anak yang terlihat melamun di meja depan ruang kelas yang saya dampingi.

Anak laki-laki itu terlihat murung, tampak tidak bersemangat. Matanya kuyu, sambil sesekali memasukkan biji bolpoin ke dalam mulutnya. Saya hanya melihatnya dari kejauhan. Sesekali saya bertanya pada wali kelas yang juga ada bersama saya di ruang kelas tersebut.

Hari itu kelas yang saya dampingi sedang memelajari materi bahasa daerah. Sang wali kelas membagi kelas secara berkelompok untuk menyelesaikan beberapa tugas terkait materi hari itu. Saya menanyakan perihal anak yang sedang saya amati dari jauh tersebut.

Agak kaget juga ketika wali kelasnya memberi tahu saya bahwa anak laki-laki yang sedang saya amati ini gemar sekali menyentuh alat kelamin milik teman-teman laki-lakinya. Banyak sekali dari teman-temannya yang melaporkan pada sang wali kelas mengenai perilaku anak ini.

Hari itu saya gercep berinisiatif mengusut siapa saja yang pernah disentuh alat kelaminnya oleh si anak ini. Di ruangan konseling saya bertanya pelahan pada (sebut saja) Fian, siapa saja teman mainnya di rumah. Fian menyebutkan nama Satria, adik kelasnya yang juga berada di dalam satu sekolah yang sama dengannya.

Bergegas saya mencari anak yang disebutkan oleh Fian. Hari itu saya menemukan Satria sedang berada di kelasnya. Dia menjelaskan dengan gamblang walaupun terlihat canggung dan malu.

Namun demikian saya dapat mengartikan gesture tubuhnya, bahwa dia sangat tidak nyaman dengan perilaku kakak kelasnya tersebut tetapi tidak berani untuk menolak perilaku itu.

Rona wajahnya terlihat ketakutan terhadap Fian ketika mengatakan keberatannya pada perilaku yang kurang pantas diterimanya.

Tentu saya menitipkan pesan pada Satria untuk menolak sekaligus melawan ketika Fian melakukan aksinya kembali. 

Saya koq begitu yakin , sangat banyak perilaku yang tidak pas terkait perilaku seksual di sekitar lingkungan kita. Hanya saja hal tersebut sangat sulit untuk digali karena kondisi masyarakat yang memandang bahwa hal-hal terkait seksualitas masih tabu untuk dibicarakan di ranah publik.

Kasus-kasus semacam ini menjadi semacam fenomena gunung es yang sulit 'diungkapkan apalagi dientaskan'.

Miris ketika saya mengetahui begitu banyak 'korban' perilaku Fian ini. Satria salah satu korbannya juga yang menegaskan kenyataan itu di hadapan saya, bahwa hal itu membuatnya merasa kesakitan dan tidak nyaman, tetapi tidak berani melawan.

Tentu saja ini sudah bukan kasus main-main yang harus segera diselesaikan. Jangan sampai kita menjadi orangtua yang abai terhadap hal ini. Ini bukan saja menyangkut perilaku anak kita, tetapi juga menyangkut orang lain tentunya.

Saya mendapatkan informasi yang cukup menguatkan asumsi saya. Sehari-hari Fian hanya bermain gadget, orangtua Fian sangat sibuk bekerja. Seharian dia hanya tinggal dengan kakak yang juga tidak terlalu peduli dengan aktivitas adiknya tersebut.

Orangtua Fian setelah bekerja seharian, tidak terlalu banyak bersinggungan dengan anak-anaknya. Saya mendengar juga, bahwa Fian mengalami tindakan kekerasan dari ayahnya. Kondisi dari ayahnya nampaknya memperparah kondisi psikologis Fian. 

Usia Fian yang memasuki 10 tahun masih kesulitan dalam menulis. Wali kelasnya berupaya mengajarnya menulis kata per kata. Bila menyalin kalimat sering terlihat menuliskan kata demi kata tanpa spasi (jeda antar kata).

Kondisi yang memprihatinkan baik secara perilaku maupun akademis. Pendidikan di jenjang sekolah dasar tersebut serasa tidak ada gunanya manakala peran orangtua sebagai garda terpenting bagi perkembangan tumbuh kembangnya tidak berfungsi dengan baik.

Kembali ke perilaku Fian yang suka memegang alat kelamin teman-teman laki-lakinya tadi. Perilaku ini sudah mengganggu dan harus diupayakan segera pengentasannya.

Komunikasi dengan orangtua harus serta-merta dilakukan oleh pihak sekolah. Biar bagaimanpun juga orangtua harus tahu bagaimana perilaku anak di luar rumah maupun di rumah saat bersama orangtua mereka.

Sebagai orangtua memberikan pengayoman, pendampingan, pengarahan menjadi salah sekian peran orangtua yang betul-betul harus dihayati dan dihidupi. Masa depan mereka bergerak maju, gak bisa diundo, dipending atau bahkan dicancel.

Sigmund Freud sekitar tahun 1900 sekian dalam teori psikoseksual-nya menyebutkan ada beberapa tahapan yang akan dialami seorang individu. Dimulai dari fase oral, anal, phallic, laten, serta genital. Teori ini adalah sebuah pijakan dalam menjelaskan dan memahami beberapa penyakit mental serta gangguan emosional.

Freud menjelaskan bahwa tiap fase memiliki tujuan tertentu terkait anggota tubuh tertentu pula. Psikoseksual menekankan pemuasan kenikmatan serta tahap penyelesaian konflik terkait bagian tubuh tertentu. Apabila tidak terjadi penyelesaian konflik di tiap fase, maka akan terjadi regresi dalam tahap perkembangan selanjutnya. 

Setiap tahap tersebut dikaitkan dengan sumber kesenangan (pemenuhan kenikmatan) serta penyelesaian konflik yang lekat dengan bagian tubuh tertentu.

Fase Oral terjadi pada usia 0-1 tahun, selanjutnya Fase Anal terjadi pada usia 1-3 tahun. Fase Phallic terjadi pada usia 3 - 6 tahun. Selanjutnya ada Fase Laten, ini terjadi pada rentang usia 7-10 tahun, kemudian yang terakhir adalah Fase Genital. Fase ini terjadi pada usia 12 tahun keatas.

Fase Phallic adalah fase dimana seorang individu ada pada rentang usia 3 hingga 6 tahun. Mereka mengalami pemenuhan kenikmatan ketika alat kelaminnya dirangsang.

Fase ini adalah fase alamiah yang dialami setiap individu, yang artinya wajar bila pada rentang usia ini individu terlihat memegang atau 'merangsang' alat kelamin.

Maksud saya bukan sebuah penyimpangan seksual ketika di usia ini anak terlihat memegang-megang alat kelaminnya, atau menggesekkan alat kelamin karena memang terjadi perkembangan pemenuhan kebutuhan di tahap ini.

Terkait permasalah Fian, apakah berarti Fian mengalami fiksasi atau regresi di fase ini sehingga dia masih melampiaskan halnitu dengan memegang alat kelamin teman-teman laki-lakinya? Tentu harus menelusur dengan sangat cermat sebelum menyimpulkan.

Saya tidak bilang bahwa teori Freud ini sebagai satu-satunya teori sahih yang mampu menjawab satu fenomena ini. Saya tidak akan berupaya menggenaralisir kasus ini seperti pasien-pasien Freud yang mengalami masalah serupa kala itu.

Yang lebih penting adalah bagaimana peran setiap stakeholder terkait upaya pendidikan terhadap Fian, baik sekolah melalui guru-gurunya, orangtua, dan masyarakat.

Saya koq sangat yakin, bahwa masih banyak kasus serupa yang 'tak terlihat'. Ini semacam fenomena gunung es. Masyarakat dan kita masih tabu, enggan, bahkan takut membicarakannya di ranah publik.

Jangan sampai PENGABAIAN kita melunturkan KEPEDULIAN kita pada mereka baik korban maupun pelaku yang harus dibantu.

Edukasi dan literasi masif mengenai pendidikan seksualitas yang benar harus tersampaikan pada titik terkecil yaitu keluarga. Teknik penyampaian mengenai edukasi dan literasi ini harus dikemas 'seramah' mungkin agar tepat sasar.

Sekolah harus bisa menjadi jembatan penyambung komunikasi perilaku anak dengan orangtua, jangan sampai sungkan, enggan, atau bahkan tidak enak menyampaikan berita-berita yang kurang enak ini pada orangtua.

Kenyataan sepahit apapun harus diterima agar orangtua juga belajar memahami anak mereka. Jangan sampai peran orangtua menjadi lebih kabur lagi karena masalah pengabaian. Sangat memprihatinkan jika orangtua tidak lagi peduli pada persoalan sebesar ini apalagi dipahami dengan jalur-jalur kekerasan.

Fian membutuhkan perhatian dan kasih sayang yang besar. Fian membutuhkan kepedulian orangtua, guru, dan kita semua. Memandang persoalan ini harus dari kacamata humanistik, setiap individu begitu berharga.

Kita bisa entaskan dengan segera. Agar upaya tersebut tidak terhambat dan terlambat perlu bersinergi. Ada sebuah tagline yang harus dihidupi bersama. Orangtua selayaknya menjadi teman seperjalanan dalam upaya-upaya anak dalam memahami pendidikan sexualitas.

Berikut ini upaya-upaya pengendalian yang bisa dilakukan:

1. Memberikan edukasi, literasi mengenai pendidikan seksualitas. Teknik menyampaikan informasi seputar pendidikan seksualitas pada anak menjadi pertimbangan penting, teknik tersebut haruslah mudah dipahami anak.

2. Memberikan perhatian dan kasih sayang. Acapkali perilaku mereka hanya karena mencari perhatian dari lingkungan

3. Menggunting tiap perilaku yang tidak benar dari pelaku dengan selalu mengingatkan dan mengarahkan pada perilaku yang benar

4. Memberi pemahaman pada 'korban' untuk BERANI menolak perilaku yang kurang baik ini.

5. Memberi pengarahan mengenai perilaku tersebut tanpa mempermalukan anak

6. Jalin komunikasi dan evaluasi terkait perilaku anak di sekolah, sehingga perkembangan anak akan lebih utama.

7. Memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai penggunaan gadget yang sehat.

***

Referensi : satu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun