Mohon tunggu...
Niswana Wafi
Niswana Wafi Mohon Tunggu... Lainnya - Storyteller

Hamba Allah yang selalu berusaha untuk Istiqomah di jalan-Nya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jebakan Paylater pada Generasi

8 Januari 2023   15:11 Diperbarui: 8 Januari 2023   15:16 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by tirachardz on Freepik

Istilah "beli sekarang, bayar belakangan" menjadi tren belakangan ini. Berbagai penawaran dari beragam aplikasi muncul dengan layanan "buy now, pay later". Tidak sedikit masyarakat yang tergiur oleh iming-iming beli barang dari modal pinjaman, terutama para pemudanya. Mereka terpikat dengan rayuan manis (bermacam diskon dan cashback) penawaran tersebut. 

Survei dari Katadata Insight Center dan Kredivo terhadap 3.560 responden pada Maret 2021 memperlihatkan bahwa pengguna aplikasi Paylater meningkat 55% sejak pandemi. Dari total angka itu, sebanyak 16,5% merupakan pengguna milenial, sedangkan Gen Z berkisar di angka 9,7%. Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, mengungkapkan bahwa fitur Paylater sering kali berakhir pada kegagalan pembayaran. Di antara para peminjam itu berusia di bawah 19 tahun dan belum memiliki pendapatan sendiri.

Walhasil, praktik ini pun menimbulkan banyak masalah baru. Para pengguna mengaku memperoleh kesulitan setelah menggunakan fasilitas Paylater. Salah satu pengguna (23) yang merupakan mahasiswa mengatakan bahwa proses pendaftaran Paylater memang cukup mudah. Namun, kemudahan itu kemudian membuatnya terlena. Awalnya, ia dapat membeli barang apa pun yang ia inginkan. 

Setelah itu, berakhir dengan tagihan yang makin besar karena ada tunggakan utang, bunga, dan denda jika telat membayar. Pengguna lain bahkan harus rela menjual mobil dan peralatan lainnya untuk menutup cicilan tagihan. Lebih parahnya, ia bahkan tidak bisa membayar cicilan rumah akibat masih terjerat dengan tagihan Paylater. (BBC Indonesia, 29-12-2022).

Fenomena jebakan Paylater pada para pemuda ini menandakan bahwa mereka tidak memiliki self control yang baik. Mereka terjebak pada iming-iming penawaran yang terlihat mudah dan menggiurkan. Hal ini diperparah dengan model kehidupan mayoritas milenial dan Gen Z yang telah terpengaruh hedonisme dan konsumerisme di sistem saat ini. Hal itu menjadikan mereka sebagai ladang subur bagi rentenir gaya baru.

Para kapitalis, rentenir gaya baru, mencari celah pada setiap kesempatan untuk meraup keuntungan, salah satunya dengan menggunakan perkembangan teknologi. Dalam kemajuan dunia digital, mereka membuat aplikasi pinjaman untuk menjerat nasabah sebanyak-banyaknya.

Oleh karenanya, agar mendapatkan banyak pelanggan, mereka mempermudah persyaratan pengajuan Paylater. Cukup dengan verifikasi data dan persetujuan pengguna, Paylater pun siap digunakan.

Menjamurnya kasus seperti ini juga tidak lepas dari peran pemerintah. Pemerintah membolehkan berbagai fintech berdiri dengan syarat terdaftar di OJK. Selain itu, kisaran bunga yang rendah juga dinilai dapat membantu masyarakat mengatasi kesulitan dalam membeli barang. Dengan makin mudahnya pengurusan menjadi pengguna Paylater, maka cara seperti ini dianggap hal yang biasa. 

Padahal, jika didalami lagi, konsep pinjaman semacam Paylater adalah solusi tambal sulam dari kesulitan masyarakat untuk membeli suatu barang karena keterbatasan uang. Dalam kapitalisme, lagi-lagi hal ini dijadikan sebagai kesempatan untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Sedangkan bagi nasabah, ini adalah jebakan kaum kapitalis yang membuat hidup makin kelimpungan.

Konsep pinjaman seperti Paylater ini tentu tidak diperbolehkan dalam Islam. Islam telah mengharamkan riba (tambahan). Dalam Al-Qur'an dijelaskan, "Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS Al-Baqarah: 275). Sudah begitu jelas bahwa pinjaman Paylater mayoritas mengandung riba. Hal ini dapat dilihat dari adanya perjanjian bunga pinjaman (meski rendah) dan terkena denda jika terlambat membayar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun