Mohon tunggu...
Niswah Mufidah
Niswah Mufidah Mohon Tunggu... Guru - pelajar

Tidak ada yang mustahil ketika kita terus mencoba dan berusaha dan tak lupa selalu ikhtiar dan tawakkal kepada Allah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sayap Kecil yang Patah

2 September 2020   20:55 Diperbarui: 2 September 2020   21:09 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"begini loh nak kan tadi sudah ibu guru ajarin cara menulis huruf b masa sudah lupa lagi sih?" ucapku menahan emosi karena begitu pusing mengajari ahmad yang sangat lambat sekali dalam memahami materi, tidak seperti anak-anak lainnya yang sudah bisa mandiri dalam menyelesaikan tugas. "bu tadi gimana nulisnya? Ahmad gabisa bu ajarin Ahmad bu" ucapnya memelas, kalau bukan karena tanggung jawab aku tak bisa sesabar ini menghadapi anak kecil yang masih susah payah dalam menulis huruf. 

Lima belas menit berlalu akhirnya Ahmad selesai mengerjakan tugas dengan bantuanku. Aku yang saat itu masih sedikit kesal berusaha memahami Ahmad dan berpikir mengapa bisa seperti itu? Seolah-olah dia tidak bisa tanggap dalam menangkap arahan, berbeda sekali dengan anak-anak lainnya. 

Padahal usia mereka sudah lima tahun dan memang seharusnya anak di usia seperti itu sudah bisa mandiri dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas tapi tidak dengan Ahmad. Ahh sudahlah rasanya letih sekali memikirkan masalah yang menimpa muridku, sempat berpikir "apa iya ibunya dirumah tidak mengajari dia bagaimana cara berbahasa? Atau menulis huruf demi huruf?" aku terus memikirkannya sambil bergegas merapikan kelas dan pergi ke meja kerjaku.

Aku masih terngiang kejadian sebulan lalu dan benar-benar dibuat merasa bersalah oleh diriku sendiri, bagaimana bisa seorang guru tak bisa bersabar dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya? Selalu merasa letih jika ada murid yang sangat susah dalam memahami ilmu. Bukankah sudah menjadi kewajiban mereka menangani semua itu? mencerdaskan generasi penerus harusnya memang tak pantang mengeluh dan menyerah. 

Tak terasa air mata sudah mulai berjatuhan membasahi jilbab warna pastel milikku dengan masih memikirkan nasib Ahmad, betapa tidak adilnya kehidupan bagi dirinya karena perceraian orangtua dia jadi terkena imbasnya. Masa yang seharusnya banyak ia lewati bersama ayah dan ibunya justru menjadi malapetaka bagi dirinya, yang membuat jiwa dan psikisnya terganggu. Itulah mengapa saat kuberi materi dia selalu tidak bisa fokus dan cenderung lambat sekali dalam menangkap arahan hampir seperti anak yang memiliki kelainan. 

Aku mengira tidak fasihnya dia dalam berbicara itu karena dia memiliki kelainan tapi ternyata bukan, kehilangan bahasa ibu pada masa golden age adalah sebuah kerugian besar bagi anak. Bagaimana anak bisa berbahasa dengan lancar jika bahasa ibunya saja dia tidak tau? Tak pernah diajarkan dan dibiarkan begitu saja.

Lantas banyak sekali kasus perceraian yang terjadi hanya karena masalah sepele yang seharusnya bisa dibicarakan bersama. Apakah orang-orang tersebut tak pernah memikirkan masa depan buah hati mereka? Saat perceraian terjadi disitulah kehidupan anak akan ikut hancur dan tentu saja hal itu akan menjadi pengganggu dalam hidupnya hingga mereka dewasa dan sudah berkeluarga. 

Ahmad adalah salah satu malaikat kecil yang ikut terluka dalam masalah orangtuanya, dan seharusnya dia tidak pantas mendapatkan luka itu. Setidaknya aku bersykur Allah membukakan pintu hidayah padaku agar lebih bisa bersabar dalam mengajarkan hal-hal baik pada malaikat-malaikat kecil penyempurna hidup para ayah dan ibu di dunia ini. Mengajarkan hal-hal baik tanpa pernah membeda-bedakan kasih sayang dan tentunya dengan sabar serta hati yang ikhlas.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua belas waktu Indonesia tengah sudah saatnya bergegas untuk sholat dzuhur di masjid dan lekas pulang. Ku rapikan kertas-kertas berserakan diatas mejaku dan mengambil tas ransel bergegas menuju masjid yang terletak diluar sekolah. Merdunya suara adzan yang menggema membuat hati yang mendengar lantas tertatih-tatih memenuhi panggilan Allah, aku menghela nafas panjang mengamati satu demi satu peristiwa yang terjadi selama beberapa bulan ini. 

Betapa baiknya Allah padaku lewat Ahmad aku belajar tentang hakikat seorang guru yang sebenarnya "jika sabarmu masih sebatas tetesan air lebih baik mundur saja dalam mengurus pendidikan anak-anak, sebab bersama anak-anak lah akan kau temukan derasnya kesabaran bagai air terjun yang tak pernah berhenti mengalir mengisi dalamnya telaga kehidupan". Ahmad ibu yakin suatu saat kelak kau akan menjadi manusia yang sukses, bermanfaat dan membanggakan bundamu, semoga Allah masih memberi kesempatan pada ibu untuk bisa lebih baik lagi dalam menuntunmu menjadi anak-anak yang berilmu dan berpengetahuan yang luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun