Part I
Ada satu cerita yang mengisahkan tentang seorang petani anggur yang menganggur. Berawal dari hujan badai melanda desanya, memporak-porandakan seluruh lahan pertanian termasuk ladang anggur- yang seharusnya panen hari itu- miliknya.
Ia yang hidup dalam kemiskinan, tentu berpangku hanya pada ladang anggur, terpaksa harus siap menerima suratan takdir, musim ini tak jadi petani anggur malahan menganggur.
Hidup sebatang kara, tanpa istri dan anak, anehnya membuat ia bersyukur. Bukan tanpa alasan. Coba bayangkan apabila harus ada tiga perut lagi yang mesti diisi setiap hari? Ya, sepertinya akan sulit. Mengingat hanya anggur yang menjadi sumber kehidupannya. Â Tapi sebentar.. kalau saja saat ini ia tidak nganggur, kehidupan tanpa istri dan anak justru akan terdengar jauh lebih menyedihkan bukan?
Sudah satu minggu semenjak hidup tanpa penghasilan. Setiap kali mencoba menghidupkan ladang, hujan badai malah datang menerjang. Rusak lagi, merasa sia-sia kemudian.
Setiap malam ia hanya bisa termenung dalam kegelapan. Memikirkan satu hal. Bukan soal mencari pekerjaan atau hidup berkeluarga. Tapi tentang bagaimana ia bisa kembali meladang anggur? Menjadi petani anggur adalah jalan hidupnya, ia pikir seperti itu. Selain sudah terbiasa, ia nyaman menjual anggur di pasar, bertemu dengan para saudagar dan mendapatkan pujian atas kualitas anggurnya yang luar biasa.
Di tengah keheningan malam, terlihat setitik cahaya datang dari kejauhan. Semakin mendekat dan rupanya seoran pria dengan obor datang menghampirinya. Si pria memperkenalkan dirinya sebagai seorang kacung saudagar kaya dari Barat tanpa menyebutkan nama, kemudian dikeluarkannya secarik kertas dari dalam saku bajunya yang lusuh. Kondisi kertasnya terlihat lecek menandakan si kacung harus naik gunung kemudian turun ke lembah untuk sampai ke Selatan.
Surat terbuka
Sepenggal kalimat sebagai awalan surat.
Setelah surat diterimanya, si kacung lantas bergegas pergi.
Buru-buru si petani anggur menyalakan lilin, membuka lipatan kertas, kemudian membaca setiap untaian kata demi kata pada surat yang secara tidak langsung datang dari seorang saudagar.
‘Cuaca di Barat sedang baik dan terkendali. Ada sebuah ladang yang hendak digarap. Sebelum awan menggumpal berjalan ke Barat ladang tersebut akan butuh petani untuk menggarap.Â
Matahari sedang terang-terangnya. Lahan yang dihujani sinarnya cocok untuk ditanami jagung, labu, dan anggur.
Barangsiapa yang mendapatkan surat terbuka ini, sebaiknya segera ke Barat.
Salam, Saudagar dari Barat.’
Anggur..
Arah pikiran si petani menuju ke sana. Sudah pasti ia mengaggap ini sebagai sebuah kesempatan emas. Rona wajahnya mulai cerah bahkan senyuman tipis terulas di wajahnya. Tanpa pikir panjang, segera ia bangkit dari duduknya, sambil membawa lilin yang sudah setengah habis, ia bersiap untuk tidur. Dilipatnya surat tadi dan ditaruhnya di bawah bantal.
Besok adalah hari di mana ia akan memulai perjalanannya ke Barat.
To be continued..