Mohon tunggu...
nisrina miftahrahayu
nisrina miftahrahayu Mohon Tunggu... Guru - Nisrina

IESP Unej 2017

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kebijakan Nilai Tukar di Bawah Tekanan Pandemik Covid-19

2 April 2020   02:08 Diperbarui: 2 April 2020   16:15 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Covid-19 yaitu salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus Corona (nCoV2) yang menyerang melalui saluran pernafasan. Penyakit ini pertama kali di deteksi di Provinsi Hubei kota Wuhan, China pada pertengahan Desember 2019 lalu. 

Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menetapkan penyakit ini merupakan pandemik yang berarti penyakit ini sudah menjadi wabah di seluruh benua yang menewaskan jutaan orang didunia. 

Dalam sejarah,  pada tahun 1818 juga pernah terjadi pandemik influenza yang sudah membawa banyak korban jiwa. Dengan itu pemerintah Indonesia melakukan lamgkah mitigasi untuk menghentikan wabah ini dengan kebijakan social distancing/jarak sosial dan menetapkan ini sebagai darurat sipil nasional oleh presiden.

Adanya social distancing akan membuat trade off antara kesehatan masyarakat dan lemahnya perekonomian. Negara tidak mungkin mendapatkan dua hal tersebut dengan utilitas yang maksimal dalam kondisi seperti ini. Maka dari itu negara hanya dapat memperkrecil tradeoff tersebut dengan transmisi kebijakan yang tepat, khususnya dalam menstabilkan nilai tukar. 

Dengan begitu saya akan memberikan dua analogi yaitu yang pertama apabila pemerintah tidak melakukan mitigasi apapun dan analogi kedua dengan penerapan mitigasi social distancing terhadap pengaruh nilai tukar dan volatilitas uang. 

Dalam hal ini yang menjadi pembanding adalah negara China dengan regime fix exchage rate yang sudah berhasil recovery dan Italia dengan regime floating exchange rate yang terlambat memberikan mitigasi Covid-19. Dengan pembanding ini saya juga akan melihat bagaimana pengaruh regime nilai tukar dalam menghadapi tekanan global Covid-19.

Secara makro social distancing akan mempengaruhi perekonomian karena adanya karantina akan mengurangi kontak sosial dalam skala besar. Dengan begitu diperlukan stimulus untuk memperbaiki sistem ekonomi makro. 

Pada tanggal 19 Maret 2020 BI 7Day reverse repo-rate menunjukkan penurunan sebesar 25 bps menjadi 4,50%. Penurunan ini merupakan response bank sentral dalam jangka pendek untuk mempertahankan perekonomian.

Tetapi dalam jangka panjang jelas Covid-19 ini membawa dampak ke perekonomian masa depan. Jika banyak masyarakat yang sakit sedangkan tidak diimbangi dengan fasilitas kesehatan yang mencukupi akan menyebabkan banyak kematian akibah wabah ini sehingga berkrangnya produktivitas. Dan selanjutnya adalah masalah kemanusiaan.

Analogi 1 : China

China, adalah negara pertama yang terkena dampak virus corona ini. Sejak Desember 2019, dan sejak adanya lockdown selama 14 hari memberikan dampak positif. Dengan begitu dapat memberikan waktu pihak rumah sakit untuk menyembuhkan orang yang positif corona, sehingga orang yang terkena virus tidak bertambah. 

Hal ini terbukti dengan jumlah rasio antara orang yang baru terjangkit virus dengan orang yang sembuh. Orang yang baru terjangkit sejumlah 3.450 sedangkan yang sembuh sebesar 74.365, membuktikan bahwa kebijakan lockdown bagi kota yang sudah berada pada "zona merah" sangat efektif. Pemerintah lalu memberikan peningkatan supply APD dan alat medis dan memperbaiki infrastruktur kesehatan.

Kebijakan lockdown berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi China yang semula pada tahun 2019 sebesar 6,2% dan sekarang hanya 3,5%. Meskipun demikian, China sudah mempunyai kebijakan preventif untuk menghindari resesi dan tekanan eksternal global. Misalkan dengan bank sentral memberikan suntikan dana. 

Pada suku bunga China juga diturunkan dari 2,50% menjadi 2,25%. Adanya social distancing dan lockdown memberikan dampak yang besar terhadap produksi barang industri. Terhambatnya distribusi bahan baku karena sudah banyak kota di China yang dikarantina membuat arus keluar masuk barang juga sulit. 

Dan menyebabkan terhambatnya produksi sehingga menyebabkan menurunnya jumlah barang ekspor China. Pada masa recovery ini, penurunan suku bunga dikarenakan banyaknya berita tentang tingginya kematian akibat Covid-19 di China menyebabkan para investor banyak yang menarik investasinya karena was-was. Diharapkan pada masa recovery ini dapat mendapatkan kembali kepercayaan para investor.

Karena rendahnya aktivitas pabrik maka pemerintah memberikan kebijakan untuk mempercepat mencairkan dana transfer payment-nya seperti asuransi dari pemerintah untuk pensiun, dana PHK sementara buruh pabrik, pemberian jaminan sosial dan asuransi korban pengangguran lainnya. Selanjutnya china juga membebaskan pajak impor untuk APD dan alat medis. Untuk menjaga stabilisasi pangan, China juga memberikan banyak subsidi bagi petani.

Dalam keadaan seperti ini, China melonggarkan kebijakan perdagangan mata uang. Mengingat China adalah negara dengan regime fix exchange rate atau nilai tukar tetap sehingga untuk menjaga stabilisasi nilai tukar yang mulai tidak stabil membutuhkan cadangan devisa yang besar. 

Penyumbang cadangan devisa terbesar China adalah sektor perdagangan ekspor dan China merupakan negara pengekspor pertama dunia. Maka dalam memperbaiki stabilisasi nilai tukar harus memperbaiki sektor perdagangan. Dalam masa recovery ini China memberlakukan Tax Holiday terhadap UMKM dan koperasi dan pelonggaran pajak bagi industri berskala besar. Kemudian juga memberikan kemudahan berupa penangguhan kredit bagi industri kecil.

Dengan membangun perdagangan dan Industri kembali, China juga menambah PDB dan memperbaiki pendapatan perkapita masyarakat di masa yang akan datang. Apabila pertumbuhan PDB dan sektor riil meningkat dapat menyebabkan penambahan cadangan devisa.

Analogi 2 : Italia

Pada tanggal 22 Februari 2020 peningkatan kematian di Italia meningkat tajam sehingga 2 kota di Italia di lockdown. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang masih tidak mematuhi kebijakan pemerintah tersebut menyebabkan virus semakin menyebar. Orang yang berada di zona merah pada melakukan mobilitas "pulang kampung" dan akan semakin banyak masyarakat yang terinfeksi. 

Akibatnya pada tanggal 9 Maret 2020 Italia secara nasional di lockdown karea peningkatan pasien corona meningkat dua kalilipat dan pasien meninggalpun bertambah karena tidak seimbangnya antara jumlah yang sakit dengan fasilitas kesehatan yang ada. A

danya lockdown harus mempersiapkan segalanya. Bagi masyarakat yang tergolong menengah keatas bisa menjaga pasokan bahan pangan sedangkan untuk golongan menengah kebawah sebaliknya.

Menurut saya untuk penerapan lockdown memang sudah terbukti untuk mengurangi dampak virus corona tetapi negara harus juga mempersiapkan bahan pokok untuk melangsungkan hidup masyarakatnya, harus tercipta keadilan untuk semua lapisan masyarakat. Apabila kondisi seperti ini rawan masyarakat borjois melakukan panic buying sehingga banyak masyarakat lain yang tidak mendapatkan pasokan makanan.

Untuk mengatasi hal ini, italia dapat berkaca pada Indonesia pada tahun 1998. Untuk keluar dari kondisi krisis Indonesia meminjam dana pada IMF untuk menyetabilkan kembali mata uang. Sehingga inflasi stabil kemudian juga pemerintah harus dapat menjaga supply barang agar tetap terjaga. Apalagi italia sudah terhambat akses distribusi dan banyaknya kegiatan perekonomian yang sudah mati karena kebijakan lockdown. 

Karena italia menggunakan floating exchange rate maka tidak diperlukan cadangan devisa yang besar untuk menstabilkan mata uang. Menurut saya Italia kurang melakukan mitigasi dari awal dan masyarakat banyak yang tidak patuh terhadap pemerintah untuk social distancing menyebabkan perekonomian semakin memburuk. 

Transmisi Kebijakan Moneter yang Tepat di Indonesia dalam Memerangi Covid-19

Menurut Jokowi kebijakan lockdown bukan merupakan pilihan yang tepat. Karena itu sangat berisiko. Menurut saya pribadi Indonesia belum siap dengan kebijakan ini. Karena itu sangatlah ekstrem, kita berkaca pada negara korea yang bisa recovery hanya dengan waktu 14 hari dengan social distancing.

Apabila masyarakat Indonesia mau disiplin dan pemerintah juga memberikan fasilitas rapid-tes untuk dapat mengidentifikasi masyarakat yang sudah terinfeksi dan segera diisolasi agar tidak menyebar. Dengan cara seperti ini maka lockdown tidak perlu dilakukan. Untuk menghentikan wabah ini diperlukan kerjasama 2 arah antara pemerintah dan masyarakat.

Adanya pandemik ini menyebabkan ketidakpastian global sehingga menyebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS maka Indonesia harus menjual SBN untuk menambah devisa. 

Untuk menjamin kesejahteraan masyarakat, Indonesia menghapus PPh 21, penurunan suku bunga dan landing facility. Kemudian juga menambah dana jaminan sosial seperti dana pra-kerja dan PKH. Bagi para kreditor juga ditunda waktu jatuh temponya.

Akibat virus Corona juga, Indonesia harus menurunakan proyeksi pertumbuhan yang awalnya kisaran 5,5% menjadi 5%. Saran saya adalah pemerintah harus memberikan batasan pembelian masyarakat untuk pembelian bahan pokok yang dihitung berdasarkan KK dalam kondisi darurat seperti ini agar tidak ada orang yang melakukan "panic buying" . Apabila sudah banyak masyarakat yang sudah melakukan hal tersebut menyebabkan bahan makanan pokok semakin langka dan menjadikan harga bahan pokok menjadi mahal. Jika itu terjadi maka inflasi tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun