Oleh: Nisrina Assyifa
Santri MAS KMI Diniyyah Puteri
Malam Satu Suro selalu menjadi momen istimewa bagi masyarakat Jawa. Bagi mereka, malam ini tidak sekadar penanda pergantian tahun, melainkan saat sakral yang penuh makna spiritual. Dalam kepercayaan Jawa, Malam Satu Suro diyakini sebagai waktu di mana pintu-pintu gaib terbuka, sehingga roh leluhur lebih dekat dengan kehidupan manusia.
Tak heran jika berbagai tradisi dilakukan untuk menyambut malam tersebut. Mulai dari pengajian, ziarah kubur, doa bersama, hingga ritual tirakatan. Semua itu dimaknai sebagai wujud introspeksi diri, permohonan keselamatan, serta sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
 Sejarah panjang tradisi ini berawal dari masa kepemimpinan Sultan Agung, raja Mataram Islam. Pada Jumat Legi, bulan Jumadil Akhir 1555 Saka atau bertepatan dengan 8 Juli 1633 Masehi, Sultan Agung menetapkan bahwa tahun baru Jawa dimulai pada 1 Muharram. Sejak saat itu, kalender Jawa berpadu dengan kalender Islam, dan peringatan Malam Satu Suro terus dilestarikan hingga kini.
Meski zaman telah berganti, semangat masyarakat Jawa menjaga tradisi ini tetap terasa kuat. Di berbagai daerah, Malam Satu Suro dirayakan dengan cara yang berbeda-beda, namun esensinya tetap sama: menghargai warisan leluhur, menjaga harmoni, serta memperkuat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta. (tribratanews.polri.go.id 21 Juni 2025)
Malam Satu Suro menjadi salah satu tradisi yang selalu dinantikan dalam kebudayaan Jawa. Di balik nuansa mistis yang melekat, peringatan ini menyimpan makna spiritual yang mendalam. Uniknya, hingga kini tradisi tersebut tetap dilestarikan di tiga pusat budaya Jawa, yakni Keraton Kesultanan Yogyakarta, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran.
Setiap tahun, ketiga pusat budaya tersebut menggelar rangkaian kegiatan khusus untuk menyambut datangnya Malam Satu Suro. Bukan sekadar seremoni, tradisi ini sarat dengan pesan introspeksi. Salah satunya adalah praktik komunikasi intra personal, di mana manusia diajak untuk memperkuat hubungannya dengan Sang Pencipta sekaligus merenungi dirinya sendiri. Momen hening ini dimaknai sebagai kesempatan untuk menata hati, memperbaiki sikap, serta memohon bimbingan agar lebih dekat kepada Tuhan.
Selain itu, Malam Satu Suro juga dikenal sebagai wadah komunikasi ritual. Bagi masyarakat Jawa, ritual tersebut bukan hanya tradisi, tetapi juga cara untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan menemukan jati diri. Dalam keheningan malam, manusia diingatkan tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan duniawi dan rohani.
Meski dirayakan dengan nuansa berbeda di setiap keraton, inti dari peringatan Malam Satu Suro tetap sama: refleksi, ketenangan batin, dan upaya menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. (Hapsari,2024)
Tradisi malam satu suro yang dilakukan di Keraton Kesultanan Yogyakarta yaitu, jamasan pusaka, jamasan pusaka adalah penyucian benda-benda pusaka, biasanya pusaka pertama yang di sucikan adalah Tumbak Kanjeng Kiai Ageng Plered, lalu selanjutnya menyuci Tosan aji, kereta kencana dan gamelan yang biasanya dilakukan pada hari Selasa atau hari Jumat Kliwon pada bulan suro. Setelah itu ada Mubeng Beteng dan tapa bisu, ritual ini dilakukan dengan cara berjalan kaki mengelilingi benteng keraton sejauh kurang lebih 4 kilometer tanpa adanya suara, dan alas kaki di awali dengan doa lalu di barengi dengan perenungan sebagai penyucian diri di malam pergantian tahun dan ritual ini dikenal sebagai ritual tapa bisu, Adapun Lampah Ratri ini dilakukan di Pura Pakualaman yaitu juga ritual berjalan kaki mengelilingi benteng kadipaten sejauh 6 kilometer ritual ini juga dilakukan dalam keheningan total sebagai bentuk spiritual. Yang terakhir di tutup dengan bubur suran, setelah semua ritual dilakukan masyarakat menyantap bubur suran, bubur ini memiliki cita rasa yang gurih dengan lauk seta tujuh jenis kacang yang dapat diartikan sebagai tujuh hari dalam sepekan, dan sebagai simbol rasa Syukur kepada pencipta (tuhan).
Tradisi satu suro di Solo (Surakarta), ada dua pusat kebudayaan di Surakarta yaitu Keraton Kasunan Surakarta dan Pura mangkunegaran, kedua pusat kebudayaan ini mengadakan tradisi yang serupa, jamasan pusaka, sama seperti di Keraton Yogyakarta, jamasan pusaka di sucikan sebagai bentuk pemeliharaan warisan dan budaya dan penghormatan kepada leluhur. Kirab malam satu suro dan kebo bule, berbeda dengan kirab keraton lainnya kirab malam satu suro di Surakarta ini melibatkan kebo bule, atau orang biasa menyebutnya dengan kerbau putih, kerbau putih ini dianggap membawa tuah dan keramat, prosesi ini menjadi salah satu daya Tarik utama bagi masyarakat serta wisatawan yang mengikuti rute kirab. Kirab Pusaka Dalem, kirab ini di lakukan oleh pura mangkunegaran, biasanya kirab ini diselenggarakan dari Pendapa Agung hingga  sampai di Kawasan Ngarsopuro dan jalan Slamet Riyadi peserta kirab ini diwajibkan dalam diam, tidak mengenakan alas kaki dan sama sekali tidak boleh keluar dari barisan.
Makna di balik tradisi malam satu suro, tradisi ini bukan hanya sekedar untuk perayaan pergantian tahun melainkan sebagai wujud untuk penghormatan spiritualitas, budaya Jawa-Islam, dan juga sejarah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI