Mohon tunggu...
Nisrina Assyifa
Nisrina Assyifa Mohon Tunggu... Santri MAS KMI Diniyyah Puteri

Saya adalah pribadi yang aktif dan kreatif. Saya memiliki hobi berenang untuk menjaga kebugaran tubuh, serta gemar memasak sebagai bentuk eksplorasi rasa dan kreativitas. Selain itu, saya senang menulis artikel yang memungkinkan saya menuangkan ide dan wawasan ke dalam tulisan. Saya juga memiliki ketertarikan pada budaya populer, khususnya K-Pop, yang memberi saya inspirasi dan semangat baru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Malam Satu Suro: Harmoni Spiritual, Budaya dan Sejarah

25 September 2025   09:25 Diperbarui: 25 September 2025   09:20 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi malam satu suro)(Sumber: https://www.freepik.com/free-ai-image/people-celebrating-new-year-s-eve-their-traditional-culture_76573275.

Oleh: Nisrina Assyifa

Santri MAS KMI Diniyyah Puteri

Malam Satu Suro selalu menjadi momen istimewa bagi masyarakat Jawa. Bagi mereka, malam ini tidak sekadar penanda pergantian tahun, melainkan saat sakral yang penuh makna spiritual. Dalam kepercayaan Jawa, Malam Satu Suro diyakini sebagai waktu di mana pintu-pintu gaib terbuka, sehingga roh leluhur lebih dekat dengan kehidupan manusia.

Tak heran jika berbagai tradisi dilakukan untuk menyambut malam tersebut. Mulai dari pengajian, ziarah kubur, doa bersama, hingga ritual tirakatan. Semua itu dimaknai sebagai wujud introspeksi diri, permohonan keselamatan, serta sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.

 Sejarah panjang tradisi ini berawal dari masa kepemimpinan Sultan Agung, raja Mataram Islam. Pada Jumat Legi, bulan Jumadil Akhir 1555 Saka atau bertepatan dengan 8 Juli 1633 Masehi, Sultan Agung menetapkan bahwa tahun baru Jawa dimulai pada 1 Muharram. Sejak saat itu, kalender Jawa berpadu dengan kalender Islam, dan peringatan Malam Satu Suro terus dilestarikan hingga kini.

Meski zaman telah berganti, semangat masyarakat Jawa menjaga tradisi ini tetap terasa kuat. Di berbagai daerah, Malam Satu Suro dirayakan dengan cara yang berbeda-beda, namun esensinya tetap sama: menghargai warisan leluhur, menjaga harmoni, serta memperkuat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta. (tribratanews.polri.go.id 21 Juni 2025)

Malam Satu Suro menjadi salah satu tradisi yang selalu dinantikan dalam kebudayaan Jawa. Di balik nuansa mistis yang melekat, peringatan ini menyimpan makna spiritual yang mendalam. Uniknya, hingga kini tradisi tersebut tetap dilestarikan di tiga pusat budaya Jawa, yakni Keraton Kesultanan Yogyakarta, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran.

Setiap tahun, ketiga pusat budaya tersebut menggelar rangkaian kegiatan khusus untuk menyambut datangnya Malam Satu Suro. Bukan sekadar seremoni, tradisi ini sarat dengan pesan introspeksi. Salah satunya adalah praktik komunikasi intra personal, di mana manusia diajak untuk memperkuat hubungannya dengan Sang Pencipta sekaligus merenungi dirinya sendiri. Momen hening ini dimaknai sebagai kesempatan untuk menata hati, memperbaiki sikap, serta memohon bimbingan agar lebih dekat kepada Tuhan.

Selain itu, Malam Satu Suro juga dikenal sebagai wadah komunikasi ritual. Bagi masyarakat Jawa, ritual tersebut bukan hanya tradisi, tetapi juga cara untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan menemukan jati diri. Dalam keheningan malam, manusia diingatkan tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan duniawi dan rohani.

Meski dirayakan dengan nuansa berbeda di setiap keraton, inti dari peringatan Malam Satu Suro tetap sama: refleksi, ketenangan batin, dan upaya menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. (Hapsari,2024)

Tradisi malam satu suro yang dilakukan di Keraton Kesultanan Yogyakarta yaitu, jamasan pusaka, jamasan pusaka adalah penyucian benda-benda pusaka, biasanya pusaka pertama yang di sucikan adalah Tumbak Kanjeng Kiai Ageng Plered, lalu selanjutnya menyuci Tosan aji, kereta kencana dan gamelan yang biasanya dilakukan pada hari Selasa atau hari Jumat Kliwon pada bulan suro. Setelah itu ada Mubeng Beteng dan tapa bisu, ritual ini dilakukan dengan cara berjalan kaki mengelilingi benteng keraton sejauh kurang lebih 4 kilometer tanpa adanya suara, dan alas kaki di awali dengan doa lalu di barengi dengan perenungan sebagai penyucian diri di malam pergantian tahun dan ritual ini dikenal sebagai ritual tapa bisu, Adapun Lampah Ratri ini dilakukan di Pura Pakualaman yaitu juga ritual berjalan kaki mengelilingi benteng kadipaten sejauh 6 kilometer ritual ini juga dilakukan dalam keheningan total sebagai bentuk spiritual. Yang terakhir di tutup dengan bubur suran, setelah semua ritual dilakukan masyarakat menyantap bubur suran, bubur ini memiliki cita rasa yang gurih dengan lauk seta tujuh jenis kacang yang dapat diartikan sebagai tujuh hari dalam sepekan, dan sebagai simbol rasa Syukur kepada pencipta (tuhan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun