Mohon tunggu...
nisrina ardiningrum
nisrina ardiningrum Mohon Tunggu... Mahasiswa

saya suka topik fashion, saya suka mendengarkan music, saya suka belajar tentang bisnis dan marketing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Fast Fashion Online: Tren cepat, limbah lebih cepat

30 September 2025   23:38 Diperbarui: 30 September 2025   23:38 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era digital yang serba cepat, gaya hidup masyarakat juga ikut berubah. Media sosial dan e-commerce kini menjadi panggung utama bagi siapa saja yang ingin tampil up to date. Setiap tanggal kembar atau momen promo besar, masyarakat berlomba-lomba mengisi keranjang belanja daring. Produk fashion menjadi salah satu komoditas paling diburu karena dianggap mampu merepresentasikan citra diri yang trendy. Namun di balik tren ini, ada persoalan besar yang sering kali luput dari perhatian: limbah fashion yang semakin menumpuk.

Fenomena fast fashion bukan hal baru. Brand-brand besar di industri mode sudah lama mempraktikkan strategi produksi cepat dengan mengganti koleksi setiap tiga bulan, bahkan lebih singkat. Model yang baru dirilis segera diikuti tren berikutnya. Konsumen pun didorong untuk membeli lebih banyak agar tidak dianggap "ketinggalan zaman". Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, praktik serupa juga merambah UMKM. Melalui marketplace seperti TikTok Shop dan Shopee, banyak pedagang kecil memproduksi pakaian dengan mengikuti tren yang sedang viral.

Di satu sisi, hal ini memberi peluang bagi UMKM untuk berkembang. Namun, ada konsekuensi yang tidak bisa diabaikan. Produk yang dijual sering kali dibuat dengan bahan murah, jahitan seadanya, dan daya tahan yang rendah. Akibatnya, pakaian cepat rusak hanya dalam beberapa kali pemakaian atau bahkan setelah dicuci sekali-dua kali. Konsumen akhirnya membeli lagi, bukan karena kebutuhan, melainkan karena pakaian sebelumnya tidak awet. Siklus ini berkontribusi besar terhadap menumpuknya limbah tekstil, yang kini menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar di dunia.

Masalah keberlanjutan inilah yang seharusnya mulai menjadi perhatian. Pakaian tidak seharusnya dipandang sekadar sebagai barang konsumsi instan. Fashion memang identik dengan perubahan tren, tetapi keberlanjutan harus menjadi arah baru yang diutamakan. Di sinilah peran penting generasi muda, termasuk mahasiswa tata busana, untuk membangun kesadaran bahwa mode bukan hanya tentang tampil mengikuti zaman, melainkan juga tentang tanggung jawab terhadap lingkungan.

Sebagai mahasiswa, kami tidak hanya belajar mendesain sesuai tren. Kami juga diajarkan bagaimana memilih kain yang berkualitas, teknik jahit yang kuat, hingga merancang busana yang timeless---model sederhana yang dapat dipadupadankan dengan banyak gaya dan tidak cepat usang dimakan tren. Konsep seperti inilah yang bisa menjadikan pakaian sebagai investasi jangka panjang. Dengan kualitas yang baik, pakaian tidak hanya memenuhi kebutuhan sesaat, tetapi juga bisa diwariskan, dipakai ulang, atau bahkan didaur ulang.

UMKM pun sebenarnya bisa memainkan peran penting dalam transisi menuju fashion yang lebih berkelanjutan. Pertama, dengan memproduksi dalam skala kecil tetapi berkualitas. Alih-alih mengejar kuantitas, fokus pada kualitas akan membuat konsumen kembali membeli karena puas, bukan karena produk cepat rusak. Kedua, menggunakan bahan lokal yang lebih kuat sekaligus memberdayakan produsen kain dalam negeri. Kain katun, linen, atau serat alami lain bisa menjadi pilihan karena lebih tahan lama sekaligus ramah lingkungan. Ketiga, mengedepankan desain timeless dibanding mengejar tren tiga bulanan. Pakaian sederhana dengan potongan klasik justru lebih fleksibel untuk dipadu-padankan. Terakhir, UMKM juga dapat memanfaatkan media sosial sebagai sarana edukasi konsumen. Daripada sekadar mempromosikan tren viral, mereka bisa menekankan bahwa membeli pakaian berkualitas adalah bentuk investasi, bukan konsumsi sesaat.

Jika langkah-langkah ini dijalankan, UMKM bukan hanya bersaing di pasar, tetapi juga menjadi agen perubahan. Mereka bisa menjadi penengah antara kebutuhan konsumen untuk tampil trendy dan kewajiban menjaga bumi dari tumpukan limbah tekstil.

Dunia fashion memang tidak akan pernah bisa sepenuhnya lepas dari tren. Namun, generasi muda memiliki pilihan: menjadi pengikut tren tanpa arah, atau pencipta tren yang bertanggung jawab. Sebagai mahasiswa tata busana, kami memiliki tanggung jawab moral untuk memulai perubahan dari diri sendiri. Dengan desain yang berkelanjutan, pemilihan bahan yang tepat, dan pola pikir yang kritis, kami bisa menanamkan budaya baru di kalangan Gen Z dan generasi setelahnya. Budaya bahwa pakaian bukan sekadar benda konsumsi, melainkan bagian dari gaya hidup yang sadar lingkungan.

Pada akhirnya, fast fashion online memang memberi kenyamanan dan pilihan yang beragam. Namun, kenyamanan itu ada harganya: limbah yang menumpuk lebih cepat daripada tren itu sendiri. Oleh karena itu, sudah saatnya konsumen, produsen, dan mahasiswa bersama-sama menata ulang arah fashion. Tidak sekadar mengejar cepatnya tren, tetapi juga memastikan keberlanjutan bumi tetap terjaga. Karena jika tidak, kita hanya akan mewariskan lemari penuh pakaian usang dan bumi yang semakin sesak oleh limbah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun