Proses dan Hasil: terhitung ada 6 atau 7 kali siding dalam penyelesaian kasus
Sidang pertama melalui video conference tanggal 27 november 2012 dan sidang akhir pada tanggal  22 Desember 2016 memenangkan Republik Indonesia dalam kasus sengketa ini. Adanya pemalsuan dokumen oleh pihak penggungat membuat Indonesia lolos dari gugatan yang di ajukan para penggugat
Analisis:
Bedasarkan kasus gugatan ini, telah memperlihatkan betapa pemerintah abai terhadap berbagai perjanjian yang telah ditandatangani. Salah satu nya penandatangan Bilateral Investment Treaty (BIT) yang menyangkut kasus Churchill mining. Sehingga semakin banyak Indonesia menandatangani perjanjian perdagangan bebas maka peluang untu melindungi kepentingan nasional semakin kecil dan berpotensi untuk di gugat. Terlepas dari buruknya sistem administrasi pemberian izin tambang di pihak daerah maupun pusat adalah salah satu persoalan tersendiri. Kasus ini memakan waktu yang sangat panjang yaitu dari tahun 2012 sampai tahun 2016.
Yang menarik dari putusan kasus Churchill ini adalah majelis arbitrase tidak menerima gugatan Churchill dikarenakan ada 34 dokumen perizininan tambang perusahaan tersebut dianggap tidak otentik dan tidak sah. Dokumen tersebut merupakan hasil dari pemalsuan dan penipuan.
Untuk pertama kalinya, Indonesia berhasil memenangkan gugatan melawan perusahaan tambang asal Inggris, Churchill Mining Plc, dan anak perusahaannya di Australia, Planet Mining Pty Ltd. Indonesia lolos dari  gugatan sebesar USD 1,31 Miliar atau sekitar Rp17 Triliun ini merupakan gugatan yang bombastis. Sebaliknya, perusahaan itu harus membayar biaya perkara dan persidangan yang telah dieluarkan pemerintah Indonesia sebesar USD 8,64 juta dan sejumlah administrasi lainnya senilai USD 800.000.