Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ketika Pak Haji Lupa untuk Bersuci

10 Mei 2021   22:16 Diperbarui: 10 Mei 2021   22:20 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mari sucikan hati dan materi dengan berdonasi (Ilustrasi: unsplash.com/@bayprayuda)

Pak Haji Adi merapikan baju kokonya sesampainya di masjid. Salam dimulainya khutbah Jum'at menyambut kedatangan pria separuh baya itu.

"Baju koko baru ini jangan sampai kotor. Nanti orang lain tidak tahu baju ini baru," pikirnya dalam hati sambil membersihkan kedua lengannya. Putra bungsu Pak Haji Adi membelikan baju koko putih itu seminggu yang lalu.

Sambil melangkahkan kaki ke dalam masjid, Pak Haji Adi mengibaskan sajadahnya. Dia tak ingin sajadah baru itu ditempeli debu karpet masjid.

"Sajadah oleh-oleh dari Turki ini mahal harganya. Kalau sampai kumal, malu kan ke besan," begitu pikirnya. Besan Pak Haji Adi sempat beribadah umroh sebelum pandemi melanda dunia.

Seusai umroh, sang besan sempat liburan ke Turki. Di sanalah karpet kuning keemasan itu dibeli dan lantas diberikan ke Pak Haji Adi sebagai oleh-oleh umroh.

Sambil menunggu waktu sholat Jum'at, Pak Haji Adi memperhatikan ke sekeliling masjid. Warna dinding masjid mulai memudar.


Tak sedikit cat tembok masjid yang sudah mengelupas. Pak Haji Adi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengingat masa lalu ketika masih mengurus masjid di perumahannya itu sebagai bendahara masjid.

"Bagaimana sih kerja pengurus masjid yang sekarang ini?" tanyanya dalam hati. Pak Haji Adi masih ingat betul, di saat kepengurusannya dulu, dinding masjid selalu mengkilap warnanya.

Dirinya paling tak suka melihat segala sesuatu yang kotor dan berantakan. Apalagi saat menyangkut penampilan masjid yang didatangi banyak orang.

Pak Haji Adi termasuk pengurus awal masjid di perumahannya. Jadi dirinya tahu betul sejarah pembangunan masjid tersebut dari awal.

Di periode kepengurusannya, sebulan sekali tembok masjid dicat ulang. Kamar mandi masjid dibersihkan sehari hingga 3 kali yaitu pagi, siang, dan malam.

Sekarang? Tadi dirinya sampai batal ke kamar mandi karena melihat lantainya yang tidak sekinclong dulu. "Untung sudah sempat berwudhu dari rumah," batinnya sebelum masuk masjid.

Bagi Pak Haji Adi, bersuci itu bukan urusan main-main. Setitik saja noda bahkan bisa membuat nilai suatu ibadah jadi tak sah.

Contohnya noda darah. Seorang muslim wajib mengulang wudhunya jika terkena darah.

Tak heran, di periode kepengurusannya, dia melarang pengajian ibu-ibu di dalam masjid karena khawatir ada yang sedang datang bulan. Solusinya, pengajian ibu-ibu bisa dilakukan di aula samping masjid yang memang bukan termasuk tempat sholat.

Pak Haji Adi pun yang dulu melarang orang tua membawa anak kecilnya ke masjid jika mereka tak memakai pampers (popok tahan air). "Setetes saja air kencing mereka bisa membuat lantai masjid menjadi najis," begitu ujarnya saat mengumumkan pelarangan itu ke warga.

"Ah, di masa saya yang menjabat sebagai pengurus masjid, urusan bersuci itu paling diutamakan. Ingat kebersihan itu sebagian dari iman," keluhnya ketika mengobrol dengan sang istri, Bu Haji Ida sebelum tadi dirinya ke masjid. "Ya sudah, cepat ke masjid, Pak. Nanti terlambat sholat Jum'atnya," ujar istrinya.

Lamunan Pak Haji Adi terhenti setelah mendengar iqamah berkumandang untuk mulainya sholat Jum'at berjamaah. Seusai khutbah, sholat Jum'at pun dilakukan secara berjamaah.

Setelah sholat Jum'at berjamaah selesai, Pak Haji Adi pun bergegas keluar masjid. Tanpa sengaja kakinya tersandung kotak amal di masjid.

Tubuhnya pun sempat oleng. Namun, dirinya berhasil mengendalikan keseimbangannya sehingga tak sampai terjatuh.

Pak Haji Adi pun teringat. Dirinya belum bersedekah hari ini.

Lalu dirogohnyalah kantong baju kokonya. Ada selembar uang merah senilai Rp.100.000 di sana.

"Kok tidak ada uang recehan sih?" gumamnya sambil merogoh kedua kantong celananya. Seingatnya tadi dia sempat memasukkan selembar uang Rp. 1000 ke kantong celananya sebelum berangkat sholat Jum'at.

Ternyata uang seribu rupiah itu tidak ada. "Ah, besok sajalah berinfaknya," pikirnya santai karena sayang menyumbangkan selembar uang seratus ribunya.

Pak Haji Adi pun melangkah pulang ke rumahnya yang berjarak 10 menit dari masjid. Di jalan, dia melihat ada seorang pengamen sedang menyanyi lagu Ramadan di depan rumah seorang warga.

Pemilik rumah itu pun keluar dan memberikan uang ke si pengamen. Pak Haji Adi sempat memperhatikan penampilan pengamen jalanan itu yang tampak kegirangan setelah menerima uang baru saja.

"Buat apa pengamen lusuh begitu diberi uang? Masih muda lagi dia. Harusnya dia bekerja keras selain mengamen," gerutunya dalam hati. Pak Haji Adi memang tak pernah memberikan uang ke setiap pengamen yang datang ke rumahnya selama ini.

"Assalamu'alaikum," sapanya seraya membuka pagar rumah. Hati-hati diletakkannya sajadahnya di bangku teras karena dirinya ingin memasukkan sepeda lipatnya ke dalam rumah.

Bersepeda memang hobi Pak Haji Adi sejak lama. Seusai pensiun sebelum Ramadan ini, dirinya tambah semangat bersepeda.

Selama puasa, Pak Haji Adi bersepeda selama 20 menit sebelum berbuka. Dirinya bersepeda sambil mengelilingi jalan di perumahannya.

"Bu, di mana sepedanya ya?" teriak Pak Haji Adi ketika tak menemukan sepedanya. Dia ingat betul, tadi pagi sepedanya diletakkan di samping mobil dalam garasi setelah dibersihkan.

Bu Haji Ida tergopoh-gopoh keluar rumah setelah mendengar teriakan suaminya. "Lho, tadi Ayah taruh di mana?" tanyanya balik.

"Ya di garasi ini. Mau taruh di mana lagi, Bu?!" jawabnya ketus. Senter HP pun berulangkali disorotkannya ke setiap sudut garasi untuk mencari sepedanya.

"Biasanya sepeda langsung Ayah bawa masuk rumah kan?" kata istrinya lagi. "Ya, tapi tadi Ayah belum sempat bawa masuk rumah. Sudah mau bersiap sholat Jum'at."

Pasangan suami istri senior itu pun lantas sibuk mencari sepeda lipat Pak Haji Adi. Mereka hanya tinggal berdua di rumah karena ketiga anak mereka tinggal di luar kota setelah bekerja dan menikah.

Hasilnya nihil. Sepeda lipat model terbaru dengan merek yang berawalan huruf 'B' dan berakhiran 'N' itu sudah raib dari rumah Pak Haji Adi.

Dirinya langsung terduduk lemas. Sepeda lipat senilai hampir 50 juta itu baru dibelinya 1 bulan lalu dari hasil keuntungan kebun kopi miliknya selama setahun.

Bu Haji Ida menyodorkan sekotak tissue ke suaminya untuk melap keringat di keningnya. "Istighfar, Yah. Sabar, sepeda lipat itu memang sudah takdirnya hilang."

"Pasti sepeda itu hilangnya belum lama. Tadi waktu Ayah ke masjid, sepeda itu masih ada," ujar Pak Haji Adi sambil menatap garasinya. "Ayah harus lapor satpam perumahan sekarang juga," katanya seraya bangkit dari kursi.

 "Sudahlah, Yah. Ikhlaskan saja," bujuk Bu Haji Ida seraya menarik tangan suaminya. Sambungnya lagi, "Coba diingat lagi. Apa Ayah kurang sedekah jadi hartanya belum disucikan?"

Pak Haji Adi tertegun. Dirinya memang belum membayar zakat hasil perkebunan kopinya karena rencananya akan dibayarkan bersama zakat fitrahnya nanti.

"Ada hak orang lain dalam harta kita, Yah. Mungkin hilangnya sepeda ini sebagai teguran dari Allah swt karena kita kurang berinfak selama ini," lanjut Bu Haji Ida. Pak Haji Adi kembali tersadar bahwa dirinya tadi tak bersedekah di masjid padahal kakinya sudah tersandung kotak amal di lantai.

"Ayo, Bu. Kita istirahat dulu saja siang ini," kata Pak Haji Adi sambil menutup pintu rumahnya. Saat pintu hampir tertutup, tiba-tiba ada suara lagu terdengar.

Penyanyinya adalah pengamen yang tadi berpapasan dengannya sepulangnya dari masjid. Bu Haji Ida berinisiatif, "Sebentar, Yah. Ibu ambilkan recehan dulu."

"Tidak usah, Bu. Pakai uang Ayah ini saja," katanya sambil mengeluarkan seratus ribu miliknya dari kantong baju. Uang itu segera disodorkannya ke sang pengamen yang masih menyanyi.

"Terima kasih. Terima kasih banyak, Pak. Lancar terus rezekinya dan sehat selalu untuk Bapak sekeluarga," ucap pengamen tersebut yang tak menyangka keberuntungan besarnya siang itu. Pak Haji Adi hanya tersenyum kecil sambil bergumam, "Aamiin."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun