Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Tren Pengasuhan Anak Berbasis Digital, Udah Youtube-in Ajah!

14 Januari 2019   22:57 Diperbarui: 14 Januari 2019   23:02 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Memiliki anak tentu mengharuskan orang tua menerima anak dalam segala kondisi dalam proses tumbuh kembang, termasuk saat anak sedang belajar merespon apapun yang diperkenalkan orang tua, atau orang tua juga belajar memahami ekspresi anak yang kadang marah, jengkel, menangis, tidak sabar, dan sebagainya.

Untungnya, orang tua di era disrupsi dengan kemutakhiran media seperti saat ini sangat terbantu dengan adanya teknologi. Keberadaan teknologi sangat membantu manusia dalam melakukan rutinitas sehari-hari, khususnya bagi keluarga muda yang memiliki anak usia di bawah lima tahun yang sedang gemas-gemasnya.

Sayangnya, teknologi juga menjadi jembatan bagi orang tua untuk mempersempit relasi antar personal yang lebih dekat antara orang tua dan anak, bahkan dalam situasi tertentu orang tua justeru mempersalahkan kenapa anak menjadi "sangat kecanduan" atau "over-time" saat menggunakan gadget.

Sumber dari kecanduan ini padahal disebabkan oleh orang tua yang memperkenalkan gawai dan internet, tanpa proses pengawasan maupun pendampingan. Akses internet yang menyajikan informasi serta beragam fitur virtual lainnya, tentu dapat menyihir siapapun penggunanya.

Namun, celakanya bila ini diberikan kepada anak maka akan menyebabkan "ketidaksiapan" terhadap mental dan psikologis anak yang cenderung menjadi lebih mudah kecanduan.

Pernah mengenal istilah tantrum pada anak?

Beberapa kali, di hadapan mata sendiri saya sering menyaksikan ada anak yang rela menangis dengan polah yang beragam dengan dalih ingin meminta (paksa) gawai orang tua yang di saat bersamaan sedang digunakan.

Alih-alih membuat pengasuhan menjadi terbantu, orang tua malah mendapatkan tanggung jawab baru untuk membelikan gawai baru yang merupakan "milik anak".

Bila dalam proses yang berlanjut, khususnya ibu-ibu seringkali mempertanyakan berulang-ulang "kenapa anak saya kecanduan nonton youtube?" tanpa melakukan refleksi ataupun berusaha memutus lingkar kecanduan.

Akibatnya anak bertumbuh secara otodidak dalam dunia yang dibangun sendiri. Bersifat personal-imajinatif, antar adia dan tontonan yang ia pilih sendiri, setiap hari dan dalam durasi yang lama.

Awalnya saya berpandangan bahwa fenomena ini hanya terjadi di wilayah perkotaan dimana para orang tua sibuk bekerja untuk memperoleh pendapatan akibat tantangan dan tekanan hidup yang lebih tinggi.

Dalam kesempatan lain, ketika saya berada di salah satu desa di Jember, saya menyaksikan sendiri bahwa ada anak batita yang baru nyenyak tidur hanya ketika diputarkan musik remix-koplo dalam volume keras, kebiasaan ini berawal dari tayangan youtube yang rutin diputar oleh bapaknya.

Tetangganya yang pergi ke sawah juga selalu meninggalkan anak beserta handphone kepada salah seorang tetangga, "agar anak saya tidak rewel". Dengan kata lain, yang bersangkutan menambahkan bahwa anaknya tidak akan rewel bila sudah didampingi oleh gawai yang terhubung dengan internet dan youtube.

Saya bisa merasakan betul betapa saluran youtube dengan kata kunci : tayangan anak, ulasan mainan anak, belajar bahasa, upin-ipin, serta anak-anak yang bermain bersama, kesemuanya merupakan tayangan yang sangat digemari dengan jumlah viewer dan subscriber hingga jutaan. Ini menyebabkan si pemilik channel menjadi miliarder cilik terkaya di Indonesia, yang disumbangkan oleh para anak-anak Indonesia.

Keberhasilan youtube menjadi pendamping, teman, saudara ataupun orang tua digital bagi anak telah berhasil merebut paksa perhatian anak dari relasi dengan orang-orang di sekitarnya yang justru tinggal di dunia nyata.

Secara Sosiologis aktivitas ini dapat mengg hilanglah hasrat anak untuk bermain secara langsung karena ruang bermain terbatas pun orang tua lebih merasa aman anak berada di rumah ataupun duduk manis di depan gawai padahal di hadapan anaknya (gawai dan internet) juga memaparkan resiko yang masif. Budaya main bergeser menjadi budaya menonton.

Meski kadang aktivitas menonton hanya dianggap sebagai tindakan menonton saja, padahal itu sangat keliru sebab di dalam suatu tayangan terdapat pandangan, nilai, norma, konstruksi, budaya, dan beragam ide yang berusaha disampaikan oleh pembuatnya kepada penonton.

Tidak heran setelah menonton tayangan, malah mendorong anak semakin konsumtif karena keserbatahuannya terhadap sesuatu hal membuatnya ingin memiliki benda/makanan/mainan/hal tersebut. Contohnya tayangan upin dan ipin yang berhasil menyihir anak-anak Indonesia lewat "ayam guring", "bahasa Melayu", dan sebagainya.

Sebelum anak-anak di masa depan bertransformasi menjadi robot, maka ajarkan kembali bagaimana cara menjadi manusia dan mengalihkan perhatiannya dari gawai sebelum kecanduan terlalu jauh. Berikut ini tips yang dapat diterapkan di rumah:

Pertama, Ajak anak berdialog dan bercerita libatkan juga intonasi dan bahasa tubuh yang menyenangkan agar anak berlatih komunikasi yang interaktif.

Kedua, Ajarkan anak mengenai nilai dan norma yang disepakati dalam keluarga.

Ketiga, Kenalkan anak untuk bermain di luar lingkungan rumah, berkenalan, dan berdialog dengan teman baru, hingga anak dapat teralihkan dari gadget.

Keempat, Ajak anak untuk membuat kesepakatan dalam menggunakan gawai.

Selamat mencoba, jangan lupa memeluk anak sebelum tidur ya! Salam..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun