Mohon tunggu...
Nira Prihatin Nufus
Nira Prihatin Nufus Mohon Tunggu... -

Simple girl, friendly, Be+

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senin yang Mencekam

30 Mei 2014   16:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:57 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

True Story @ 25 Oct'2010

By: Nira Prihatin Nufus

Di dalam kamar seorang diri, hanya berteman dengan satu buah handphone yang selalu setia menemani. Mataku terus terjaga hingga larut, jam dinding menunjukkan pukul 23.30 WIB. Tak biasanya aku masih terjaga, entah apa yang sedang terjadi dengan diri ini. Ku tlah mencoba menenggelamkan wajahku ke permukaan bantal, namun mata ini tak jua terlelap. Hingga akhirnya aku tak sadar pukul berapa aku terlelap.

Keesokan harinya,

Sinar matahari menembus jendela kamarku. Aku sontak terbangun dari tidur yang amat lelap. Waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB. Hari ini mamah tumben tidak membangunkanku. Aku segera bergegas pergi ke kamar mandi dan tiba-tiba tersadar, “Ya ampun, ini hari senin yah.. Udah jam segini, belum sarapan.” Ucapku dalam hati dengan jantung berdegup kencang.

Setelah selesai mandi aku segera berlari ke dalam kamar dan membuka lemari. Mengambil kemeja putih dan rok abu-abu. Segera ku lepaskan kemeja tersebut dari gantungannya. Ku julurkan tangan dan segera ku masukkan tangan kananku ke dalam lengan kemeja. Namun ku lihat ada bercak berwarna hitam di lengan kemejaku. “Wah apaan ini hitam-hitam, kayak tai cicak.” Ucapku dengan penuh kaget.

Aku langsung keluar kamar dan pergi ke dapur untuk mengklarifikasi bercak apa yang ada di kemejaku itu. Terjadilah percakapan antara aku dengan bibi.

“Bi ini apaan kok ada hitam-hitamnya?” ucapku dengan penuh tekanan.

“Ouh itu, emangnya itu mah teh. Nggak bisa hilang.” Jawab Bibi dengan kurang yakin namun berusaha untuk meyakinkan.

“Tapi kayak tai cicak bi ini mah.” Jawabku lagi sedikit ngotot.

Dari non verbal yang Bibi lakukan, terlihat bahwa ia merasa terhakimi olehku. Namun karena aku berfokus pada kemejaku, akhirnya aku tidak terlalu memperdulikan bibi.

Aku masih berada di dapur dan mencoba untuk menghilangkan bercak tersebut menggunakan air yang terdapat di westafel. Ternyata perlahan bercak itu memudar. Akupun berbicara kembali kepada Bibi.

“Bi ini hilang tau item-itemnya. Kayaknya iya ini mah benar tai cicak.” Aku langsung menyiapkan strikaan untuk menyetrika kemeja yang sudah nampak basah pada bagian lengannya. Namun bibi berusaha untuk mengambil alih kemeja dan strikaan yang sudah kusiapkan.

“Sini teh sama bibi aja.” Ucap bibi tredengar memaksa

Nggak bi nggak apa-apa. Neng aja.” Ucapku sedikit ketus padanya. Aku pikir itu karena aku sedang buru-buru mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 06.20 WIB.

Namun sepertinya bibi merasa tertolak dan merasa bahwa ia bersalah. Karena jarak bibi yang sedang memasak dengan tempat strikaku tidak terlalu jauh. Aku mendengar ada isak-tangis dari arah bibi berdiri. Aku sungguh bingung harus bersikap dan berbuat apa. Akhirnya aku hanya diam dan mempercepat strikaku.

Dari arah dalam rumah nampak mamahku sedang berjalan ke dapur, dan mamah melihat bibi sedang berdiri membelakangi mamah dengan isak tangis tersedu-sedu. Pikirku dan hati berbicara, “Kenapa sih pakai nangis segala, orang nggak diapa-apain.” Setelah selesai menyetrika aku langsung bergegas dan berpamitan berangkat ke sekolah.

Pada saat aku berpamitan, mamahku menanyakan ada apa dengan bibi. Akupun menjawab dengan polos, “Orang nggak diapa-apain. Cuma bilang aja kalau kemeja untuk sekolah tadi ada tai cicaknya, tapi bibinya aja nggak ngaku......” aku belum selesai berbicara tapi mamah langsung memotong ucapan dan langsung memarahiku.

“Jangan bikin masalah sama bibi. Kalau bibi nggak ada gimana? Susah nyari yang mau bantuin di rumah. Mau semuanya teteh yang ngelakuin sendiri?” aku sambil berjalan ke rak sepatu mengambil alas kaki, sementara mamah masih saja berbicara tanpa henti. Namun aku tak begitu menghiraukan perkataan mamahku, seakan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

Pergi ke sekolah

Aku berlari ke depan gang untuk menunggu angkutan umum yang akan aku naiki. Saat ku melihat jam di handphone, waktu menunjukkan pukul 06.40 WIB. Tik tok tik tok tik tok, 5 menit berlalu. Hati tlah resah menunggu angkutan umum selalu terisi penuh oleh penumpang. Kepala terus mengarah pada jalanan datangnya angkutan umum. Kaki melangkah bolak-balik kanan-kiri tak bisa diam seakan ada api yang menjalar menggerogoti.

“Haduuh mana sih ini angkot nggak datang-datang. Udah jam segini lagi.” Ucapku dengan geram dalam hati.

Tiba-tiba ada motor berhenti tepat di depanku dan ia membuka kaca helmnya.

“Wah Ditaa Alhamdulillah.” Ucapku dengan girang

“Ayo cepat naik, udah siang nih.” Balasnya

Aku pun merasa tenang karena sudah mendapatkan kendaraan untuk sampai ke sekolah. Aku duduk menyamping dengan tas ransel di punggung. Dita mengendarai motor dengan kecepatan cukup tinggi. Kedua tanganku mencari pegangan agar tidak jatuh.

5 menit berlalu

“Srrerreerrekkkkkk....” Tiba-tiba terdengar suara aneh di belakang. Aku pun menengok ke arahnya dan kulihat handphone-ku ada di atas aspal yang tadi dilalui.

“Dita Dita berhentiii.” Sambil ku tepok pundaknya dengan cepat

“Kenapa? Iya-iya.” Balas Dita sambil mengarahkan motornya ke pinggir jalan

“Hp-ku jatuuh.” Balasku

Akupun turun dari motor dan langsung ke arah handphone-ku yang terjatuh. Baru dua langkah kakiku berjalan, tiba-tiba aku melihat truk berjalan ke arah. Handphone-ku.

Nafas terengah-engah, langkah kaki terhenti dan seketika imajinasiku berjalan membayangkan handphone-ku akan terlindas oleh truk dan aku hanya terdiam menyaksikan hancurnya handphone-ku kesayangan yang telah aku beli pakai uang sendiri ringsek berkeping-keping di depan mataku, dan hatiku berteriak, “Aaaaaaa handphone-kuuuuuu.......”

Truk tersebut melewati handphoneku yang terbujur kaku di atas aspal. Namun yang Maha Kuasa masih melindunginya. Hampir saja truk tadi melindasnya, tapi ternyata handphoneku hanya berada di tengah-tengah ban-ban besar itu. Segera aku berlari mengambil handphone itu.

Kupandangi handphone yang telah ku beli susah payah, ku elus-elus tanda sayang mensyukuri ia masih terselamatkan. Namun sayang, tubuhnya kini penuh goresan. Akupun sambil berjalan ke arah Dita yang telah menungguku kembali. Kamipun melanjutkan perjalanan ke sekolah.

Di tengah perjalanan, aku merasakan ada penyesalan dalam hatiku.

“Kenapa aku sampai lupa tidak menyimpannya di dalam tas. Kenapa malah menyimpannya di rok. Haaaahh benar-benar lupa....!! dan kenapa aku tidak menggunakan softcase pada handphoneku!! Padahal mamah sudah sering bilang agar handphoneku selalu pakai softcase. Mamah juga sering bilang jangan simpan handphone di rok. Haaaahh. Maafkan aku mamah karena aku tidak mendengarkanmu.” Penyesalan dalam hati datang bertubi-tubi.

Di sekolah

Sesampainya di sekolah, aku langsung berpamitan pada Dita dan mengucapkan terima kasih atas tebengannya. Segera aku bergegas ke ruang kelas yang terletak cukup jauh dari pintu masuk. “Syukurlaah aku tidak telat.” Ucapku dalam hati

Ku dorong pintu yang setengah tertutup dari luar. Mengingat pintu kelasku memang sedikit sulit dibuka. Baru satu langkah kakiku masuk kelas, aku langsung diingatkan oleh temanku, “Niraaa pikeeet....!!” Aku benar-benar lupa kalau hari ini aku piket. “Oh iyaaa piket.” Menepok jidat sambil menyimpan tas di atas meja.

“Baris ujung belum disapu tuh Raa.” Ucap temanku sambil menunjuk

“Aku mau hapus whiteboard aja ah.” Dengan santai aku membalas demikian sambil berjalan ke arah whiteboard. Di kelas ada dua orang temanku yang sedang piket menyapu.

“Huuuuh dasar, masih kotor itu barisan ujung.”

“Yasudah yang lain saja.” Sambil mengayunkan penghapus di atas whiteboard

“Iya tapi belum datang, kan kita mau upacara.” Menjawab dengan agak ketus

“Iyaa nanti saja, aku kan lagi piket hapus whiteboard ini.”

Di kelas memang sudah sepi karena teman-teman lainnya sudah keluar kelas untuk melaksanakan upacara. Alhasil di dalam kelas hanya ada kami bertiga.

Setelah beberapa kali mengayunkan penghapus di atas whiteboard, terdengar suara lonceng berulang kali. Pertanda upacara akan segera dimulai. Akupun mempercepat ayunan tanganku di atas whiteboard.

Tiba-tiba....

“Aaaaaa........!!” teriakku di dalam kelas sambil menatap kemeja bagian lenganku. Penghapus yang sedang aku ayunkan terjatuh dan hinggap di kemeja putih bagian lengan.

Sontak kedua temanku di dalam kelas menertawakan dengan bebasnya sambil berkata, “Hahahaa.... Itu sih dibilangin suruh nyapu malah ngotot pengen hapus whiteboard.” Aku hanya terdiam membisu menatap kemeja putih yang tlah ternodai.

Sebelum ke lapangan upacara, aku sempatkan pergi ke kamar mandi. Aku menatap wajahku yang penuh dengan kesedihan. Aku bertanya pada diriku, “Ada apa dengan hari ini? Ada apa dengan pagi ini? Mengapa kejadian tidak mengenakan datang bertubi-tubi menghinggapi pagi ini?” Buliran hangat perlahan berjatuhan membasahi pipi.

Sepanjang upacara berlangsung aku hanya meratapi kejadian yang telah terjadi pada pagi ini. Senin yang mencekam...!!

(Jakarta, 29-30 Mei 2014)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun