Mohon tunggu...
Ninin Rahayu Sari
Ninin Rahayu Sari Mohon Tunggu... https://nininmenulis.com

Former Journalist at Home Living Magazine n Tabloid Bintang Home - Architecture Graduate - Yoga Enthusiast - Blogger at www.nininmenulis.com - Coffee Addict - Morning Person

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Aplikasi Siloka vs Warga Bingung. Siapa yang Menang?!

21 Juli 2025   08:47 Diperbarui: 21 Juli 2025   08:59 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, sayangnya, keberadaan teknologi saja tidak cukup. Yang lebih penting dari apa sistem itu, adalah bagaimana sistem itu bisa menjangkau penggunanya yakni warga biasa dari berbagai latar belakang usia, pendidikan, dan kemampuan digital. Di sinilah sering kali terjadi ketimpangan. Teknologi bagus, tapi tidak semua orang diajarkan cara memakainya. Akhirnya yang terjadi bukan solusi, melainkan frustrasi massal.

Bayangkan situasi yang aku temui sendiri di kantor Dukcapil Cibinong, puluhan orang duduk berserakan, bukan karena malas antre, tetapi karena tidak tahu harus memulai dari mana. Beberapa orang bahkan datang tanpa tahu bahwa mereka harus mendaftar dulu secara online melalui Siloka. Ada yang mengira prosesnya masih manual seperti zaman dulu, datang, isi formulir, dan tunggu giliran.

Masalah ini bukan soal malas cari informasi. Ini soal akses. Tidak semua warga membaca media sosial pemerintah daerah. Tidak semua orang terbiasa membuka situs web instansi. Banyak warga lansia yang datang tanpa didampingi anak-anaknya karena tidak tahu harus menyiapkan apa. Ada pula buruh pabrik yang izin kerja demi mengurus KTP, tapi malah terjebak di alur digital yang rumit.

Seorang ibu-ibu di sebelah aku bahkan sempat panik karena merasa sudah 'terdaftar' tapi tidak menemukan QR Code di HP-nya. Ternyata ia belum menyelesaikan proses pendaftaran sampai selesai. Namun, ia mengira dengan 'mengisi awal' saja, semua sudah aman. Tidak ada notifikasi yang cukup jelas, tidak ada email konfirmasi. Seolah sistem ini dibuat hanya untuk mereka yang sudah terbiasa memakai teknologi sejak lahir.

Belum lagi soal keterbatasan jaringan. Saat aku membuka Siloka dari browser HP, kecepatannya sangat bergantung pada sinyal. Di area Dukcapil, koneksi tidak selalu stabil. Beberapa warga bahkan bertanya-tanya, "Kenapa nggak sediakan Wi-Fi publik aja?" Pertanyaan yang valid. Kalau aplikasi ini jadi gerbang awal layanan publik, maka pemerintah juga harus menyediakan akses ke jaringannya.

Satu lagi masalah, tidak adanya pendamping digital di lokasi. Hari itu aku melihat banyak petugas yang bekerja keras di meja layanan, tetapi tidak satu pun yang secara khusus ditugaskan membantu warga membuka aplikasi. Padahal satu orang yang ahli digital saja bisa meringankan beban banyak warga. Tugasnya tidak berat, cukup membimbing bagaimana cara login, memastikan QR Code bisa keluar, dan menjelaskan alurnya. Kalau pemerintah bisa menyediakan Satpol PP buat jaga gerbang, kenapa tidak satu 'digital volunteer' untuk bantu akses aplikasi?

Infrastruktur teknologi bisa saja keren, tetapi tanpa edukasi digital yang merata, semua hanya akan menjadi etalase kosong. Kita butuh teknologi yang inklusif. Teknologi yang tahu bahwa tidak semua orang punya kuota unlimited. Teknologi yang paham bahwa warga tidak semua lulusan teknik informatika. Dan yang lebih penting, sistem yang mau mendengar dan memperbaiki diri berdasarkan pengalaman pengguna.

Bayangkan, jika Siloka punya versi Lite yang lebih ringan untuk diakses di HP jadul. Atau punya fitur chatbot sederhana yang bisa membimbing proses step by step tanpa membuat bingung. Atau bahkan cukup dengan video tutorial berdurasi 1 menit yang dipasang di beranda situs mereka, sudah bisa membantu banyak orang.

Bicara teknologi tidak bisa hanya bicara sistem dan server. Kita harus juga bicara tentang rasa. Rasa empati pada pengguna yang gaptek, pada ibu-ibu yang panik karena tidak bisa buka QR Code, pada bapak-bapak yang harus balik lagi besok karena keliru mengisi data, pada lansia yang duduk menunggu dengan mata penuh harap. Karena sehebat apa pun aplikasi dibuat, ujung tombaknya tetap manusia. Dan sistem yang baik adalah sistem yang menjadikan manusia sebagai pusatnya.

Untuk Para Calon 'Pindahan'

Foto: Dok. Pribadi
Foto: Dok. Pribadi

Kalau kamu membaca artikel ini sambil berkata dalam hati, "Aduh, itu gue banget... udah tinggal lama di tempat baru tapi belum pindah domisili," maka inilah saat yang tepat untuk bersiap. Jangan tunggu sampai sistem berkata kamu sudah tidak terdaftar, atau saat butuh bikin paspor tiba-tiba namamu tidak muncul di data nasional. Percayalah, mengurus pindah domisili itu seperti menyikat gigi, semakin lama ditunda, semakin bikin mulut jadi tidak nyaman.

Berdasarkan pengalaman pribadi dan obrolan dengan sesama 'pejuang pindahan', berikut beberapa saran jujur dan realistis yang bisa membantumu menghadapi proses ini tanpa stres berlebih:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun