Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, Asrar Atma, dll. Buku solo 31 judul, antologi berbagai genre 201 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Layang Lelayu

12 Oktober 2025   23:33 Diperbarui: 13 Oktober 2025   00:32 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Layang Lelayu


Minggu, 18 Februari 2024.

Tepat pukul 00.15 aku terjaga di tengah malam. Seperti biasa, perut melilit meminta sesuatu. Segera kupersiapkan special granola kiriman menantu sulung dan segelas air putih, lalu kumasukkan ke dalam mesin pintar pembuat susu soya. Karena stok kacang hijau dan kedelai habis, kutambahkan segenggam kacang tanah saja. Ya, sudahlah, seadanya. Sambil menunggu tiga puluh menit hingga susu matang, kubuka kembali novel yang belum sempat kuselesaikan.

Teringat, tepat seminggu lalu di jam yang sama, gawaiku berbunyi bersamaan dengan bunyi kentongan dari pos jaga di tepi sungai. Bukan kentongan bambu atau kayu, melainkan bunyi tiang listrik yang dipukul petugas ronda. Biasanya, bunyi satu kali berarti pukul satu dini hari, dan demikian seterusnya hingga pukul tiga. Setelah lewat pukul empat, mereka tak lagi memukul tiang. Sementara, kadang ronda dimulai sejak pukul sepuluh malam, tergantung keadaan.

Bila suamiku masih terjaga, biasanya ia mengajakku membuatkan tiga gelas kopi untuk para penjaga malam itu. Nanti siang termos akan dikembalikan oleh salah satu dari mereka. Namun, malam ini, suamiku tidur pulas di kamar belakang, dan aku malas repot --- apalagi kalau harus mengantar kopi seorang diri. Ih, malu!

"Hah, ada apa di grup, kok tengah malam ada notifikasi?" gumamku.

Jumlah pesan yang menumpuk --- enam ratusan lebih --- sungguh mengusik. Aku memang jarang membuka grup WhatsApp kampung jika sedang sibuk. Handphone tak pernah mati, tapi jarang kubuka, kecuali sesekali menonton reel hewan lucu di Instagram atau video pendek di Facebook, bahan inspirasiku menulis cerita.

Namun kali ini aku terusik. Notifikasi beruntun disusul kabar duka yang juga kulihat di unggahan seorang teman di Jerman: kakak sulung dari mendiang adik bungsunya yang telah dipanggil Tuhan.

"Ya Tuhan ... aku ketinggalan kabar," bisikku, mata mulai basah.

Seorang putri sahabat karib di persekutuan doa telah dipanggil pulang secara mendadak. Katanya, karena hipertensi --- tensinya mencapai 220 --- hingga menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Ia sempat dioperasi, tetapi nyawanya tak tertolong.

Saat Pemilu kemarin, rumah barat --- kampung halaman suami --- dijadikan dapur umum untuk menyiapkan konsumsi para panitia, lebih dari dua puluh orang. Seperti biasa, kami pulang kampung untuk mencoblos sesuai alamat KTP. Di tengah kesibukan memasak, kusampaikan kabar duka itu kepada beberapa teman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun