Sepatu sang Jawara
Sebuah kisah sederhana dari desa, tentang anak yang nyaris kehilangan langkahnya hanya karena sepasang sepatu usang. Namun, di balik rahasia kecil yang tersimpan rapat, tumbuhlah keberanian dan semangat juara.
Matahari siang itu menetes di sela jendela kaca, menebarkan serpihan cahaya ke papan tulis yang masih basah oleh kapur. Udara kelas sedikit pengap, namun begitu Bu Yanti berdiri di depan, suasana berubah tegang. Matanya tajam, suaranya tegas, seperti genderang yang memanggil pasukan.
"Surani, maju ke depan," katanya, seolah bukan sekadar panggilan, melainkan titah.
Surani bangkit pelan, pundaknya agak merunduk. Ia biasa menjadi ketua kelas yang lincah, namun kali ini langkahnya seperti tertahan batu di dalam dada.
"Mulai besok, kamu jadi Komandan Peleton. Awal Juli nanti ada lomba baris-berbaris. Persiapkan peletonmu agar mantap," suara Bu Yanti mengalun, membawa semangat sekaligus tekanan.
Kelas hening. Angin dari jendela memeluk halaman. Tapi kata-kata Surani justru pecah di udara:
"Oh, ... tii-tidak bisa, Bu..."
Kagetlah semua. Menolak? Surani? Anak cerdas yang selalu cepat tanggap? Tapi wajahnya pucat, suaranya gemetar. Ia menunduk, menelan kata yang tak mampu ia telan.
Sejak itu, sorot matanya kosong. Angka-angka matematika tak lagi memantul di kepalanya, melainkan larut ke dalam bayangan hitam yang disebut sepatu.
Ayahnya seorang buruh bangunan di Surabaya. Pulangnya tidak menentu: sebulan sekali, kadang dua bulan. Nafkah datang seperti angin musim: ada dan tiada. Ibunya, perempuan tangguh di pasar, menjual sayur dengan tangan letih. Mereka hidup dari sisa-sisa rezeki, dari rajutan kesabaran.