Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, Asrar Atma, dll. Buku solo 31 judul, antologi berbagai genre 193 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Masihkah Jadi Anak Laut?

19 September 2025   21:45 Diperbarui: 20 September 2025   14:03 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Canva via KOMPAS.COM


Setiap orang tua di muka bumi ini bukankah ingin yang terbaik bagi anaknya, lantas bagaimana bisa Ladaima mengizinkan anaknya kerja di kapal ... itu terlalu keras, cukup dirinya saja yang merasakan.

"Rajin-rajinlah sekolah, jadilah anak pintar dan bantu ibumu di rumah. Tak usahlah kau ikuti jejak bapakmu ini. Kau tetap bisa menikmati laut tanpa menjadi pelaut ulung seperti Bapak. Kau masih bisa berlayar, bermain, menangkap ikan; asyik-asyiklah dan bergembira bersama temanmu."

Anak itu menatap ayahnya, matanya bening seperti permukaan laut pagi hari. Namanya Bien Barbeau. Konon gabungan dua kata itu bermakna samudra dan nelayan. Awalnya, kedua orang tua berharap ia akan menjadi nelayan yang berjaya di samudra.

Ia baru duduk di bangku kelas dua SMP. Di tubuhnya mengalir darah pelaut dari leluhur yang turun-temurun menggantungkan hidup di laut. Namun, zaman sudah berubah. Ladaima tak ingin anaknya lagi-lagi melawan badai, tidur di geladak, atau menghitung bintang demi menentukan arah pulang.

"Apa Bapak tidak bangga kalau aku bisa seperti Bapak?" suara Bien Barbeau lirih, hampir tersapu debur ombak.

Ladaima tersenyum pahit. "Bapak bangga, Nak. Tapi kebanggaan itu tak sepadan dengan penderitaan. Laut itu indah, iya. Tapi laut juga bisa kejam. Bapak sudah cukup merasakan asin air mata bercampur asin laut. Kau jangan!"

Angin sore menggiring aroma garam. Di kejauhan, matahari perlahan merunduk ke garis horizon, memantulkan cahaya jingga ke permukaan air. Bien Barbeau duduk bersila di atas pasir, menekuri kakinya yang setengah terbenam. Di tangannya seekor kelomang meronta hendak lepas, tetapi ia tahan dengan sekuat tenaga.

Sejak kecil ia terbiasa melihat ayahnya pulang setelah berhari-hari melaut. Tubuh legam, wajah keras, tetapi sorot mata penuh kasih. Setiap kali ia menunggu, selalu ada rasa bangga:

"Itu ayahku, pahlawan lautku!" Wajar sajalah bila ia ingin mengikuti jejak itu.

"Tapi, Pak, laut sudah jadi rumahku. Aku tak bisa bayangkan hidup jauh darinya. Di sekolah pun aku selalu memikirkan ombak, ikan-ikan, dan langit yang luas. Bukankah itu tanda aku memang ditakdirkan jadi anak laut? Bukankah Bapak pun telah mengajarkan padaku bagaimana membaca bintang?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun