Bien Barbeau tertegun. Ia heran, meskipun kedua orang tuanya bukan kaum intelek, tetapi ada kebijaksanaan sederhana yang selalu mampu mengisi batok kepalanya dengan terang. Hatinya mengembang, bangga memiliki pasangan orang tua nelayan yang penuh kasih dan piawai menasihati dengan bijak.
Malamnya, Barbeau kembali duduk di tepi pantai bersama ayahnya. Bulan menggantung utuh, cahayanya membias di air yang beriak tenang.
"Pak," panggilnya pelan. "Kalau aku jadi peneliti laut, apakah Bapak akan tetap bangga?"
Ladaima menoleh, kaget sekaligus haru. "Peneliti laut? Dari mana kau dapat pikiran itu?"
"Dari Ibu Guru. Katanya, laut bukan hanya untuk ditangkap hasilnya. Laut juga bisa dijaga dan dipelajari. Kalau aku bisa jadi peneliti, aku tetap anak laut, 'kan?"
Hening sejenak. Hanya suara debur ombak yang menjawab. Ladaima menatap anaknya lekat-lekat, lalu tersenyum. Senyum itu kali ini benar-benar tulus, tanpa pahit.
"Ya, Barbeau. Kau tetap anak laut. Bahkan mungkin lebih mulia daripada Bapak. Kau menjaga, bukan sekadar mencari rezeki. Kau membuat laut tetap hidup untuk generasi berikutnya. Kalau itu jalanmu, Bapak akan bangga seumur hidup."
Bien Barbeau merasa dadanya hangat. Ia menatap laut yang membentang, seolah malam itu laut memberi restu. Ia tahu jalan yang akan ditempuhnya tak mudah. Namun, kini ia punya tujuan. Ia bukan hanya akan menjadi anak nelayan, melainkan anak laut yang menjaga rumah besarnya: samudra.
Dan Ladaima, di balik sorot matanya yang lelah, akhirnya lega. Ia berhasil melepaskan rantai yang mengikat keluarganya pada kerasnya gelombang. Anaknya kelak akan tetap dekat dengan laut, tetapi tidak lagi sebagai pengembara gelombang---melainkan sebagai penjaga kehidupan.
Keesokan paginya, saat berangkat ke sekolah, Bien Barbeau melangkah ringan sambil melantunkan tembang yang dulu diajarkan kakeknya:
Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa.