Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, Asrar Atma, dll. Buku solo 31 judul, antologi berbagai genre 193 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Tahu Bayu Kan Membawa ke Mana

17 September 2025   12:48 Diperbarui: 20 September 2025   23:51 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak Tahu Bayu Kan Membawa ke Mana


Unik. Ya, namanya memang itu. Seunik perjalanan hidupnya. Putri ketujuh dari sepuluh bersaudara. Ibunya---adik dari mertuaku---tak sanggup menanggung semua beban. Anak terlalu banyak, ekonomi serba pas-pasan. Maka, Nono si sulung dan Unik kecil pun diserahkan kepada pasangan lain dalam keluarga: bibinya yang kemudian ia panggil Emak.

Namun, menjadi anak angkat bukan berarti hidupnya terjamin kasih. Emak hanyalah pedagang ikan di pasar. Subuh berangkat, tengah hari baru pulang. Tenaga sudah habis, sisa kasihnya pun minim. Kakak sulungnya, Nono, lebih sering berjaga di pos ronda malam, lalu tidur mendengkur sepanjang siang. Unik tumbuh di rumah yang menyediakan atap dan makanan sekadarnya, tapi jarang menyediakan ruang bicara. Ia hanya diajari mencuci, membersihkan lantai, dan memasak ala kadarnya.
Maka jadilah ia gadis introvert, pandai menyimpan luka.

Masa sekolahnya pun tidak mudah. Di sekolah swasta tempat ia menimba ilmu, ia pernah menjalin kasih dengan seorang pemuda dari etnis lain. Namun, hubungan itu segera terhenti. Keluarga si lelaki menolak mentah-mentah, marah besar, dan memaksa sang kekasih memutuskan hubungan. Bahkan, si pemuda pindah sekolah. Bagi Unik, itu seperti hantaman petir di siang bolong. Tak seorang pun tahu seberapa jauh hubungan itu berjalan, tapi cukup untuk merobek hatinya.

Malam itu, ia nekat mengiris pergelangan tangan. Untung Emak mendengar gerak-geriknya, lalu melolong minta pertolongan. Sopir ambulans tetangga pun segera membawanya ke rumah sakit. Nyawa terselamatkan, tetapi luka batin tak pernah benar-benar sembuh. Sejak itu, pisau-pisau dapur disembunyikan.

Waktu terus berjalan. Unik lulus sekolah, tanpa bekal kecerdasan akademis ataupun keuangan yang cukup. Sepupunya mendaftarkan ia ke kursus menjahit dan tata rias. Nasib lalu mempertemukan Unik dengan seorang jejaka tampan, putra seorang dokter ternama. Status sosial jelas jauh berbeda, tapi cinta---atau barangkali hanya rasa kagum---membawa mereka ke pelaminan. Pernikahan itu mewah, rias pengantin ditangani oleh sang mempelai pria sendiri, yang memang hobi mendandani dan merancang busana.

Tiga tahun berlalu, lahirlah seorang putri cantik yang dinamai Bidadari. Usaha menjahit dan tata rias Unik berkembang, langganannya bahkan sampai kalangan pegawai bank. Hidup tampak baik-baik saja.

Namun, entah mengapa, Unik kemudian menghilang. Bidadari yang baru masuk SMA kehilangan ibunya tanpa jejak. Suami dan anak mencari ke mana-mana, tapi Unik tak kunjung ditemukan. Hingga dua tahun kemudian, ia pulang dalam keadaan hamil besar.

Kabar itu mengguncang. Janin dalam rahimnya adalah anak dari seorang lelaki beristri dua. Jadilah Unik istri ketiga dalam perkawinan siri yang getir. Lelaki itu hanya pedagang rongsok, nafkah pun tak menentu. Dari pernikahan itu lahirlah Bening, si mutiara hitam berkulit gelap, mirip ayahnya. Namun, sang suami jarang datang, lebih sering menetap di rumah istri-istrinya yang lain.
Hari-hari Unik kembali sunyi. Ia tinggal bersama Bening dan Nono, kakak yang setia melajang sampai ajal menjemput. Nono, penjaga pos ronda, menghembuskan napas terakhir sebelum usia enam puluh, paru-parunya kalah oleh dingin malam.
Kini, hanya Unik dan Bening yang tersisa. Hidup mereka digerakkan mesin jahit hitam yang setia, menerima pesanan kecil dari konveksi. Dari jarum dan benang itulah mereka mengais rezeki.

Pernah, semasa gadis, Unik jadi pujaan kaum Adam karena wajahnya ceria, penuh aura memesona. Namun, hidup tidak selalu tunduk pada kecantikan dan aura. Luka demi luka membuat pesona itu memudar, berganti dengan garis-garis getir.

Dan begitulah, Unik menjalani hari-hari. Entah ke mana bayu 'kan membawanya. Yang pasti, ia terus berusaha berdiri, meski sayapnya sudah berkali-kali patah.

Kini, hanya Unik dan Bening yang tersisa di rumah itu. Hidup mereka digerakkan mesin jahit hitam yang setia, menerima pesanan kecil dari konveksi. Dari jarum dan benang itulah mereka mengais rezeki.

Namun, nasib tak sepenuhnya gelap. Dari rahim yang dulu penuh tangis, lahirlah juga secercah cahaya: Bidadari. Berbeda dengan sang ibu, ia tumbuh cerdas, diterima di perguruan tinggi dengan beasiswa di ibu kota. Setelah lulus, ia mengabdi di tanah Papua, lalu kini kabarnya menjadi guru di ujung Jawa Timur.

Sejak ayahnya berpulang akibat gagal ginjal, Bidadari kerap pulang menjenguk ibunya. Wajahnya selalu membawa seberkas cahaya, seolah mengingatkan Unik bahwa meski hidup penuh patah, masih ada harapan yang tumbuh.
Unik menatap putrinya dengan mata basah. Entah ke mana bayu akan membawanya lagi, tapi kali ini ia tahu: ia tidak benar-benar sendiri.

*** 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun