Asbak Batu Pualam
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Hari menunjukkan hampir pukul 18.00 sudah mulai remang-remang. Dari salah satu mobil, sulungnya menelpon lewat HP dan di- speaker oleh bungsu yang semobil dengannya.
"Ma, kita mampir ke Unggul Onyx yaaa ... ! Aku mau lihat-lihat kalau-kalau ada model angsa bersayap seperti yang kutemukan di Taman Mini Indonesia Indah!" teriak sulungnya saat melewati Tlogomas sepulang dari Jatim Park.
Akhirnya dua mobil tersebut terparkir bersisian, singgah di tepi jalan, tepatnya di pusat kerajinan dan oleh-oleh khas Kota Malang.
Ketika dilihatnya ada asbak batu pualam, Nia pun segera mengambil dan menggenggam erat-erat, "Mama ambil ini, ya!" pintanya kepada sulung.
"Lah, buat apaaa ...!" pekik bungsu yang dokter di salah satu rumah sakit ternama di kotanya.
"Bukannya ada terpampang tulisan, "No Smooking"Â di dinding, Ma!" timpal menantu sulungnya.
"Lah, iya ... kan gak mungkin ada tamu yang merokok, Ma ...! Lalu apa gunanya Mama membeli asbak?" pertanyaan bertubi dari si bungsu ini cuma ditanggapi dengan tersenyum simpul.
Anak dan menantu nimbrung bicara serentak saat dipeluknya asbak batu pualam itu sebagaimana anak kecil yang ketakutan mainannya diambil orang.
"Ahhh, ... Mama ini ada-ada saja!" seloroh si sulung menimpali perdebatan kecil itu!
"Mama bayar sendiri, deh ...!" ungkap Nia beranjak ke kasir.
"Aku yang bayar deh, Ma. Buat cenderamata saja 'kan, Ma?" sergah si menantu bungsu memburu dan segera mengangsurkan uang ke petugas di loket kasir.