Membaca itu seperti roh, jika tidak membaca maka raga itu seperti mati. Jika makanan menyokong jasmani agar sehat, maka membaca bermanfaat bagi pembentukan mindset, asupan gizi untuk jiwa kita.
Sehat atau tidak tergantung kita, apakah bacaan itu positif atau negatif untuk dikonsumsi. Kesemuanya kembali ke diri masing-masing.
Makanan dan bacaan, keduanya sama-sama dibutuhkan.Tinggal kita memilah-milah mana yang bermanfaat atau sebaliknya. Jangan ditelan-mentah-mentah.Kritis berpikir itu perlu dong!
Sebagai manusia yang hidup di tengah masyarakat di era millenial ini, ketika kita minim ilmu pengetahuan atau informasi, maka bukan tidak mungkin kita melakukan hal yang bodoh atau bahkan terperosok ke dalam masalah.
Seperti yang saya alami ketika pertama kali menjadi warga Kompasiana. Saking semangatnya sudah menjadi Kompasianer, tanpa membaca terlebih dahulu, tanpa mempelajari terlebih dahulu, dengan lincahnya dan secara ekspres saya mulai menulis.
Lalu apa yang terjadi? Semua tulisan saya berantakan.Pokoknya amburadul parah. Sungguh memalukan! Tapi apa boleh buat, ya ... buat apa yang boleh.
Generasi millenial yang lahir di era handphone dan internet sangatlah beruntung. Meskipun pada sebagian orang masih kurang tepat cara pemanfaatannya.
Namun masih banyak di luar sana yang memanfaatkannya sebagai alat pintar menuju ke arah yang bukan tidak mungkin menjadikan seseorang menjadi cerdas oleh benda ajaib itu.
Tak perlu dilarang anak-anak menggunakan gawai. Toh gawai juga bisa dimanfaatkan sebagai benda untuk memacu minat membaca. Hanya saja perlu pendampingan serta pengawasan ekstra ketat mungkin. Mengapa demikian?
Sebab, fitur-fitur vulgar bertebaran di mana-mana, dengan mudahnya mereka mengaksesnya sendiri, padahal belum layak mereka tonton.
Di sisi lain, benda tersebut banyak menawarkan beragam informasi yang bermanfaat untuk anak-anak hingga orang dewasa. Tak sekadar teori, tetapi mampu meringkus otak seseorang, mengimplementasikannya menjadi sebuah karya.