Hari ini aku kembali duduk di meja kayu yang di atasnya ada sebuah buku yang penuh coretan. Aku mencoba menuliskan isi hati yang tak pernah tenang. Ada sesuatu yang terus menghantui pikiranku setiap kali aku mengajar di kelas 9-A. Bukan soal tumpukan tugas, bukan pula soal murid-murid yang gaduh. Tapi tentang satu anak---seorang anak berkebutuhan khusus yang hadir setiap hari di ruang belajarku.
Ia duduk di barisan depan dengan mata yang sering kosong, kadang penuh tanya. Aku bisa merasakan betapa keras ia berusaha mengikuti pelajaran. Aku selalu mengajaknya duduk di hadapanku dan memberikan bimbingan khusus. Aku tidak bermaksud mengistimewakannya semata ingin dia memahami sedikit tentang materi yang kuberikan.
Namun setiap kali aku menjelaskan, aku tahu sebagian besar kata-kataku menguap, tak sampai ke pemahamannya. Dan di situlah rasa bersalahku muncul. Aku merasa seperti sedang meninggalkannya sendirian dalam keramaian. Rasa bersalah kerap menyelimutiku.
Aku guru reguler, bukan guru khusus. Pengetahuanku tentang pendidikan inklusif hanya sebatas seminar singkat dan buku-buku tulis yang kubaca, itupun tanpa pendalaman. Aku ingin sekali membantunya, tapi setiap kali mencoba, aku sadar aku tak punya keterampilan yang cukup. Perasaan tak berdaya itu membuatku seperti terjebak dalam lingkaran salah.
Sering aku bertanya pada diriku sendiri: apakah aku guru yang buruk? Apakah aku sudah gagal? Bukankah tugasku mendidik semua murid tanpa terkecuali? Namun bagaimana aku bisa mendidik dengan benar kalau tak ada alat, tak ada bekal ilmu, tak ada dukungan?
Sekolah ini disebut sebagai sekolah inklusi, tapi apa artinya label itu tanpa kesiapan nyata? Tak ada guru pembimbing khusus yang mendampingi, tak ada ruang konseling untuk anak dan orang tua, tak ada media pembelajaran khusus yang dibutuhkan. Bahkan ruang kelas pun masih sama: bangku, papan tulis yang catnya mengelupas, dan buku paket yang isinya seragam---semua murid harus menelan materi dengan cara yang sama, padahal mereka begitu berbeda.
Mengapa aku begitu peduli pada anak-anak berkebutuhan khusus? Aku tahu betul bagaimana perjuangan orang tua yang memiliki anak spesial karena aku menjadi bagian dari mereka. Betapa sulitnya menghadapi stigma negatif dari lingkungan sekitar tentang anak-anak spesial itu. Belum lagi masih ada diskriminasi perlakuan dari pemerintah kepada mereka.
Lebih membuatku gelisah lagi adalah hubungan antara guru dan orang tua. Aku mencoba mengajak orang tuanya bicara. Aku ingin memahami kebiasaan anak itu di rumah, metode belajar yang mungkin bisa membantunya. Namun, sering kali komunikasi itu terasa timpang. Orang tuanya seolah menyerahkan segalanya pada sekolah, berharap kami bisa mengatasi semuanya. Padahal, kami pun membutuhkan kerja sama mereka, karena pendidikan anak berkebutuhan khusus tidak bisa hanya ditangani satu pihak.
Aku tahu mereka lelah. Aku bisa membayangkan beratnya menjadi orang tua dari anak dengan kebutuhan khusus. Tapi kelelahan itu membuat mereka cenderung menarik diri. Pertemuan orang tua-murid yang kami adakan beberapa kali tak pernah mereka ikuti. Akhirnya, aku hanya bisa menebak-nebak sendiri tentang apa yang harus kulakukan.
Di malam-malam seperti ini, aku merenung: apakah pendidikan inklusif hanya slogan? Pemerintah dengan lantang menyuarakan pentingnya sekolah ramah anak, tanpa diskriminasi. Tapi dalam praktiknya, kami para guru hanya diberi tugas, tanpa diberi alat. Aku bukan tidak mau berjuang, tapi aku bukan superman. Aku butuh pelatihan, aku butuh panduan, aku butuh teman sejawat yang memang ahli di bidang ini.