Sebab cinta seorang ibu tak pernah usai, meski dunia seakan tak berpihak."
Tulisan ini saya buat sebagai ungkapan hati sekaligus penguat bagi kaum ibu yang dianugerahi anak spesial.
Peran menjadi seorang ibu bukanlah tugas yang ringan. Apalagi jika takdir melimpahkan kepercayaan ibu untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus (ABK). Banyak tantangan yang akan dihadapi dan berlipat-lipat. Tenaga akan terkuras. Psikologis akan diuji. Namun cinta dan kesabaran mereka menjelma jadi sesuatu yang luar biasa buat anak-anak tersayang. Sebuah perjuangan yang tidak semua orang mampu memahami dan menjalankannya.
Di tengah kelelahan fisik, mental, dan emosional itu, ada satu kekuatan yang terus menegakkan punggung dan menguatkan langkah mereka: iman. Biarkan lelah ini menjadi fillah---lelah karena Allah, lelah yang bermakna, dan lelah yang mengalirkan pahala.
Potret Kehidupan Ibu dari Anak Berkebutuhan Khusus
Pernahkah kita membayangkan pagi seorang ibu yang harus memandikan anaknya yang tak mampu bergerak sendiri, menyuapinya dengan penuh kesabaran, menenangkan tantrum yang tiba-tiba datang, atau menjawab pertanyaan masyarakat yang tak paham tentang kondisi anaknya?
Sebagian ibu bahkan harus rela berhenti dari pekerjaan, meninggalkan dunia luar, dan membatasi relasi sosial hanya untuk memastikan anaknya mendapatkan stimulasi dan perhatian yang maksimal. Satu hari bisa terasa seperti seribu hari. Tapi mereka tetap berjalan, meski tertatih, demi satu harapan: anaknya bisa bahagia dan diterima dengan layak oleh dunia.
Lelah yang Tak Selalu Dipahami
"Anakmu kok belum bisa baca ya, padahal usianya udah 9 tahun?" "Ah, kamu terlalu memanjakan anakmu. Tegas sedikit dong." "Kasihan sih... Tapi mungkin itu karma."
"Kalau bicara dengan anakmu harus keras. Anakmu tuli. "
Ucapan-ucapan seperti itu adalah tamparan bagi para ibu ABK. Mereka bukan hanya berjuang untuk memahami anaknya, tetapi juga berperang melawan stigma masyarakat, bahkan dari keluarga sendiri. Lelah? Tentu. Tapi mereka tetap tersenyum, walau dalam hati terkadang ingin menjerit.
Saya berada dalam kondisi seperti itu. Saat saya akan memasukkan anak saya ke sekolah TK reguler dan mendapat penolakan karena anak saya penyandang tuli sejak lahir. Padahal saran dokter yang menanganinya, anak ssya jangan di sekolahkan ke SLB, karena masih bisa dilatih bicara asalkan menggunakan alat bantu mendengar.