"Jujur, Mir! Biar kami paham masalahmu dan jelas alasan jika harus membela kowe," omel Mbak Genuk ikut-ikutan.
Amir terdiam sambil menunduk. Dia takut memandang wajah orang-orang yang berada di hadapannya dan menuntut penjelasan.
"Aku dimintai tolong untuk membagikan angpao kepada para penduduk dengan catatan mereka harus mau memilih Pak Paimin. Aku memberikan jaminan kepadanya." Amir bercerita dengan pelan.
"Wah! Pantesan Pak Paimin ngamuk karena kalah padahal dia sudah menghabiskan banyak uang." Le Gimin teriak sehingga mengejutkan semuanya," Salah sendiri main curang."
Orang-orang mesem mendengar ucapan Le Gimin bahkan ada yang terbahak menertawakan.
"Mengapa kamu tadi menyuruh untuk melaporkan Pak Paimin padahal kamu juga yang membagikan amplop-amplop itu?" tanyaku tajam.
"Aku cuma berusaha menolong para warga. Sekarang semua harga sedang mahal khususnya beras. Aku berharap mereka terbantu dengan uang itu paling tidak buat membeli lima liter beras. Masalah pilihan, aku kan tidak bisa melihat hati manusia. Sopo ngerti di depanku mereka mau memilih Pak Paimin. Kan nyoblosnya  siapa juga tak ada yang tahu."
Amir berkelit dengan gaya yang santai,"Lagi pula sebagai calon kades harusnya siap juga menerima kekalahan karena pilihan tetap hak veto warga sebagai pemilih."
Aku tercenung mendengar jawaban Amir. Apa yang disampaikannya benar juga sih. Anggap saja uang itu sebagai rejeki para warga. Kan bukan mereka yang mau. Aku memandangi Amir yang sedang cengar-cengir di hadapanku.Â
Entah apa yang akan dilakukan oleh Pak Paimin kepadanya nanti.
Satu minggu kemudian, Amir sedang menemani Mas Tejo sedang blusukan ke persawahan yang sedang dilanda kemarau. Aku mendengar Amir menjadi asisten pribadi kepala desa yang baru. Benar- benar pintar...