"Kang! Hai ... Kang, melamun!" teriak Arina yang sudah berdiri di hadapanku. Aku terkejut dengan teriakannya.
"Hayo melamunkan siapa?" tanya Karina sambil mencubit perutku.
"Akang melamunkan bidadari yang sedang turun ke bumi dan sedang memetik pucuk- pucuk daun teh tadi," godaku sambil memeluk tubuh Arina. Arina menghindar sambil berlari menjauhiku.
"Ayo, Kang kita pulang, sudah mau maghriib," ajak Arina sambil mendahuluiku. Â Aku mensejajari langkah Arina sambil menggegam tangannya.
"Sebentar, Kang. Kita duduk di sini dulu ya," ujar Arina sambil mengajakku duduk di sebuah ayunan yang berada di taman.
"Ada apa isteriku, sayang?" tanyaku sambil duduk di sampingnya.
"Aku mau Akang berjanji kepadaku," ujar Arina pendek.
"Janji? Tidak mau ah ... berarti aku harus membayar karena janji itu adalah hutang," godaku sambil memeluk tubuhnya. Arina bersandar di bahuku.
"Akang harus berjanji jika aku sudah dipanggil Allah nanti Akang harus ikhlas," ucap Arina pelan. Aku hanya diam.
"Akang tidak menjawab?" ujar Arina sambil menatap ke arahku.
"Jangan berbicara begitu, atuh, Arina. Kamu akan hidup selamanya untukku," jawabku seraya menahan perasaan sedihku.