Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mati Suri

29 September 2021   11:12 Diperbarui: 29 September 2021   11:19 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jasad yang keluar dari tubh. https://intisari.grid.id/

Suara sirene ambulans memasuki RS. Kartika. Beberapa perawat berlarian seraya membawa brankar. Mereka mengangkat tubuh seorang wanita paruh baya dengan sangat hati-hati. Tubuh wanita itu dipenuhi selang. Di hidungnya terdapat selang oksigen yang membantu pernafasannya. Di tangan kanannya terdapat selang infus.

Seorang laki-laki dan seorang gadis remaja terlihat turun dari dalam ambulans. Wajah gadis itu tampak sembab karena menangis sementara laki-laki itu mendekap tubuh si gadis agar tabah.

"Ayah, bagaimana keadaan bunda? Aku tidak mau ditinggal bunda," ujar si gadis sambil terus terisak-isak.

"Sabar ya sayang. Kita doakan bunda selamat dan dapat tertolong," hibur sang ayah sambil membelai rambut anaknya.

Tak lama kemudian seorang pemuda mendekati mereka. Terlihat jelas wajah yang menggambarkan kecemasan yang tak terhingga. Pemuda itu berpakaian koko warna abu-abu dan celana jeans hitam.

"Bagaimana keadaan bunda, Yah?" tanya pemuda tersebut. Dia segera mengiringi brankar yang mulai bergerak menuju IGD.

"Semoga bunda segera tertolong. Kita berdoa saja ya," jawab si ayah tegar. Mereka berjalan mengikuti brankar yang mulai memasuki lorong rumah sakit menuju ruang IGD.

Perlahan aku mendekati brankar yang sudah masuk ke ruang IGD. Tubuh wanita itu diangkat menuju tempat tidur. Kemudian beberapa perawat memasangkan selang infus di tangan kanan wanita itu. Beberapa perawat menanyai anggota keluarga pasien tentang apa yang terjadi pada wanita yang tengah pingsan itu.

Ake memandang wajah perempuan itu sangat mirip aku. Ya...itu benar-benar wajahku. Berarti tubuh yang tergeletak di ranjang itu adalah aku. Laki-laki dan kedua remaja itu adalah suami dan anak-anakku, Hafidz dan Anisa. Apa yang terjadi padaku? Mengapa mereka tidak dapat melihat keberadaanku? Karena penasaran, aku mengamati mereka di dalam kamar rawat.

Tak lama kemudian seorang laki-laki muda berjas putih memeriksa keadaan wanita yang masih pingsan itu. Pasti dokter yang sedang bertugas di IGD. Biasanya mereka bukan dokter spesialis namun dokter umum.

"Apa yang terjadi dengan pasien ini?" tanya dokter kepada perawatnya.

"Menurut suaminya, ibu ini terjatuh di kamar mandi dan membentur lantai kemudian dia tak sadarkan diri," jelas suster itu.

"Sudah berapa lama ibu ini pingsan?" kembali dokter itu bertanya.

"Sudah satu jam sejak terjatuh di rumah, Dokter," jelas suster lagi.

"Tolong panggilkan keluarganya dan temui saya di ruangan," perintah sang dokter.

Aku melihat suamiku memasuki ruang dokter tadi. Aku mengikuti mereka dan berdiri di sudut ruang dokter.  Kedua anakku menemaninya.

"Silakan duduk, Pak, "ujar dokter mempersilakan dengan santun. Mereka duduk di kursi yang ada di depan meja dokter.

"Pak, ada beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan istri Bapak. Apakah setelah terjatuh ada pendarahan yang keluar dari hidung atau mulut?" tanya dokter.

"Tidak ada, Dok. Istri saya langsung tak sadarkan diri. Kemudian saya cepat-cepat membawanya ke sini." Suamiku menjelaskan kronologis kejadiannya.

"Begini Pak, kami akan melakukan tindakan selanjutnya. Cedera istri Bapak tidak terlihat dan harus melakukan CT Scan. Tindakan itu untuk mengetahui cedera yang dialami pasien ringan, sedang atau berat. Kami khawatir ada luka dalam bagian otak yang tentunya akan membahayakan jiwa apalagi istri Bapak tidak mengeluarkan darah saat terjatuh dan langsung pingsan," jelas dokter panjang lebar.

"Lakukan yang terbaik untuk istri saya, Dok. Saya mohon selamatkan istri saya," pinta suamiku.

"Pak dokter selamatkan Bunda ya. Aku tidak mau kehilangan bunda," ujar putriku yang berdiri di samping ayahnya sambil menangis.

"Insyaallah, kami akan melakukan yang terbaik untuk bundamu. Kamu harus membantu dengan doa ya, Nak," kata dokter sambil tersenyum.

"Bolehkah kami menengok bunda, Dok?" Hafidz memandang dokter dengan penuh harap.

"Boleh, tapi lebih baik Bapak mengurus ke bagian administrasi terlebih dahulu. Kami harus segera memindahkan ibu ke ruang ICU setelah kami melakukan tindakan," jawab dokter sambil mempersilakan mereka keluar ruangan.

Wah! Betapa aku sangat bahagia. Aku sangat disayangi suami dan anak-anakku. Aku kembali ke ruang IGD dan melihat ragaku yang tergeletak di sana.

Pelan-pelan aku berdiri di samping wanita itu. Aku mengamati tubuhku dari mulai kepala hingga ujung kaki. Aku mengingat apa yang sudah terjadi. Aku kok mendadak tidak ingat apa-apa.

"Bunda...sadarlah! Kami tidak mau kehilangan Bunda. Kami sangat menyayangimu," suara Hafidz terdengar dari luar ruang ICU. Aku memandang pemuda yang berdiri di jendela kaca ruang ICU.

"Kak, ayo kita berdoa agar Allah menyelamatkan bunda," ajak Anisa yang berdiri di sampingnya. Kemudian mereka membuka mushaf Al quran yang ada di HP mereka kemudian mengaji. Mereka membaca surat Yasin.Suara mereka sangat merdu dan sangat menyentuh hatiku.

Aku kembali memandang tubuhku yang tengah terbaring di ruang ICU itu. Beberapa selang tampak di beberapa bagian tubuh itu.

Aku mendengar suara lantunan ayat-ayat suci Al quran. Suara mereka sangat menyejukkan hatiku. Aku harus bersyukur karena mereka sudah membaca Al quran dengan fasih. Tidak sia-sia usaha kami mendidik mereka.

Aku mendekati anak-anakku di luar ruang ICU itu. Aku menyentuh bahu Anisa. Namun apa yang terjadi? Aku sama sekali tak dapat menyentuhnya. Begitu juga saat aku menyentuh bahu Hafidz. Mereka tak bereaksi dan tetap diam saja. Apakah mereka tidak melihat kehadiranku? Ada apa denganku ini?

Aku terduduk di bangku yang berada di depan ruang ICU. Aku mencoba tenang dan mengingat apa yang sebenarnya terjadi kepadaku.

                                                                                                                 ***

Siang itu amarahku meledak. Amarah yang sudah kupendam hampir satu minggu ini. Kesabaran yang kumiliki sudah habis. Selama ini aku sudah cukup sabar menghadapi ulah suamiku yang sulit kupahami. Sudah satu minggu ini dia selalu pulang malam. Katanya banyak pekerjaan yang harus cepat diselesaikan karena sudah mau dead line. Hal itu yang mengharuskannya kerja lembur setiap malam.

Awalnya aku mempercayai semua alasan yang disampaikannya. Aku mencoba untuk tidak terprovokasi oleh ucapan Dania, adikku.

"Mbak, kamu harus hati-hati lo. Mas Bayu sudah mulai pulang malam. Alasannya pasti lembur, kan? Coba sekali-kali kamu datangi kantornya agar bisa melihat kebenarannya," ujar Dania saat aku curhat kepadanya.

"Masa harus sampai seperti itu, Dik. Selama ini mbak percaya kok sama mas Bayu. Dia sangat mencintai aku dan anak-anak. Mana mungkin dia mau berbuat macam-macam," jawabku sambil memandang adik bungsuku ini.

"Mbak memang terlalu percaya kepada mas Bayu, sih. Coba ingat-ingat oleh mbak gelagat mas Bayu akhir-akhir ini ada perubahan atau tidak." Kembali Dania berusaha meyakinkan aku.

"Maksudmu, Dik?" tanyaku tak mengerti. Aku melihat Dania menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Mbakku yang satu ini lugu sekali. Maksudku apakah tingkah laku mas Bayu ada perubahan, misalnya mas Bayu sekarang lebih rapi penampilannya dan lebih harum. Kemudian dia jarang makan di rumah dan sering terlambat pulang kantor atau mas Bayu mengurangi jatah bulananmu, Mbak," papar Dania sambil memainkan jemarinya.

"Ah, kamu banyak nonton sinetron, Dik," ucapku sambil tertawa.

Kemudian aku merenungkan apa yang tadi dikatakan Dania. Selama ini mas Bayu berpenampilan biasa-biasa saja. Namun dia memang sering pulang malam dan jarang makan di rumah karena dia lembur di kantornya. Kata mas Bayu, kantor menyiapkan makan malam bagi karyawan yang kerja lembur.

Apakah aku patut mencurigai mas Bayu yang sudah bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Rasanya tidak adil jika aku melakukan hal tersebut. Sebagai seorang isteri harus tetap memberi kepercayaan kepada suami agar tidak menjadi isteri durhaka.

Namun semua prinsipku itu buyar. Siang itu aku didatangi tamu seorang wanita cantik. Dia berhijab dan berbusana muslim sama denganku. Bedanya tamuku berusia lebih muda dan berpakaian tunik yang warnanya sangat serasi dengan tubuhnya. Aura kecantikannya tampak hadir di wajahnya. Sedangkan aku terbiasa untuk mengenakan gamis syari dan berhijab menutupi hampir separuh tubuhku.

"Assalamualaikum," sapaku lembut saat dia mendatangiku yang sedang menyiram tanaman di teras depan.

"Waalaikumussalam," jawabnya dengan senyum yang sangat manis," Maaf, bisa saya bertemu dengan mbak Aruna?"

'Iya, saya sendiri. Mari silakan masuk," ujarku sambil mematikan kran air kemudian mengajak tamuku itu untuk masuk ke ruang tamu.

"Maaf, rasanya saya baru bertemu dengan Anda ya. Mbak ini siapa dan ada perlu apa dengan saya?" tanyaku setelah kami duduk di ruang tamu.

Perempuan itu tampak ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu kepadaku. Bahasa tubuhnya menggambarkan kegelisahan.

"Apa yang akan mbak sampaikan kepada saya. Silakan ucapkan saja tidak usah ragu-ragu," ujarku sambil menatap perempuan muda yang duduk di hadapanku. Aku menduga-duga apa yang akan disampaikannya. Perasaanku mulai tidak nyaman.

"Maaf, Mbak Aruna. Saya harus menyampaikan hal ini kepada Mbak. Saya mohon Mbak bisa menerima dengan lapang dada," jelas perempuan yang belum kutahu namanya itu. Hatiku bertambah tidak nyaman mendengar ucapannya.

'Apa maksud, Mbak?" tanyaku mulai tak sabar," Anda ini siapa dan ada maksud apa datang ke rumah ini!"

"Saya Vania, Mbak. Saya isteri mas Bayu." Perempuan itu berkata sangat pelan dan hati-hati namun membuatku sangat terkejut.

"Maksud Anda...hm ...tidak mungkin. Mas Bayu tidak akan melakukan hal itu. Dia tak akan mengkhianati saya," ujarku sambil berusaha tenang," Anda berdusta! Anda hanya ingin menghancurkan keluarga saya!"

"Mbak! Sabar! Apa yang saya sampaikan ini benar. Mas Bayu menikahi saya satu bulan lalu. Jika Mbak tidak percaya saya bawa surat nikah dan foto pernikahannya," gumam Vania menjelaskan sambil berusaha mengajakku berbicara.

Kemudian Vania menunjukkan foto pernikahan. Di sana ada mas Bayu dan Vania sedang duduk di hadapan dua orang laki-laki. Mas Bayu berpakaian jas hitam dan Vania berkebaya seperti layaknya pasangan yang akan menikah. Mas Bayu sedang menjabat tangan salah seorang di antara mereka.

Aku memandang foto itu. Apakah ini benar foto mereka? Apakah bukan hasil settingan? Namun aku tak melihat sesuatu yang dapat mematahkan pendapatku. Foto ini asli.

   "Pergi dari rumah saya!" teriakku keras. Vania terkejut mendengar bentakanku yang cukup keras.

"Aku tak mau melihat kamu di rumah ini!" Aku menyeret Vania keluar rumah. Vania sempat menyimpan foto di meja teras.

Buu Lilis dan bu Hani, tetangga sekaligus sahabatku datang dan mendekatiku. Mereka menanyakan apa yang terjadi. Aku tidak menjawab dan terus berteriak mengusir Vania. Bu Lilis membantuku untuk mengusir Vania dari rumah.

"Mbak, silakan keluar dari rumah ini!" ujar bu Lilis," Saya mohon Anda mengerti."

Sementara bu Hani menahan tubuhku yang sudah lemas dan hampir terjatuh kemudian membimbingku masuk ke rumah.

"Istighfar mbak Aruna. Sabar. Pasrahkan semuanya kepada Allah SWT," hibur bu Hani sambil mendudukan aku di sofa ruang tengah.

Aku menangis pelan seraya mengucapkan istighfar. Apa yang dicurigai Dania ternyata menjadi kenyataan. Apa salahku selama ini kepada mas Bayu sehingga dia tega mengkhianatiku seperti ini. Apakah karena aku sudah bertambah tua? Usiaku semakin senja sehingga aku tidak cantik lagi.

Aku mencoba untuk menahan tangisku pecah lebih keras. Aku beristighfar lebih kencang agar hatiku lebih tenang. Vania sudah tak tampak lagi di rumahku namun dia sempat meninggalkan foto pernikahan itu.

Bu Hani dan bu Lilis menemaniku beberapa saat di rumah. Mereka mengajakku shalat berjamaah dan bertadarus agar hatiku lebih tenang. Aku bersyukur karena memiliki tetangga yang sangat baik.

"Aku tidak percaya suamiku akan selingkuh dariku, Bu," keluhku sambil menaham tangis. Bu Hani hanya mengelus punggungku.

"Sabar mbak Aruna. Kita belum tahu kebenarannya. Kita tunggu mas Bayu agar tahu apa yang sebenarnya. Siapa tahu wanita itu sengaja dikirim ke sini hanya untuk menghancurkan keluarga kalian," nasehat bu Lilis dengan lembut.

Ya, benar juga apa yang disampaikan bu Lilis. Aku harus mendengar langsung dari mulut mas Bayu tentang pengakuan wanita itu. Aku harus bersabar dan terlihat tenang agar tidak membuat cemas anak-anak.

Setelah yakin aku tenang, bu Lilis dan bu Hani pulang ke rumah masing-masing. Aku melanjutkan wiridku agar hatiku tenang kembali. Hafidz dan Anisa sebentar lagi akan pulang. Mereka tidak boleh melihatku menangis. Aku tidak ingin mereka mengetahui masalah ini sebelum jelas kebenarannya.

Malam harinya mas Bayu pulang pukul tujuh. Tidak biasanya dia pulang masih sore seperti ini. Biasanya dia tiba di atas pukul 10 malam. Aku membiarkannya seolah tak ada masalah apa-apa. Namun tetap saja hatiku yang sudah terluka tak dapat kututupi.

"Bunda, aku ingin berbicara," ujar mas Bayu mendekati aku yang sedang duduk di sofa kamar.

"Aku sudah tahu apa yang akan ayah bicarakan. Wanita yang bernama Vania dan mengaku isteri ayah, bukan?" tanyaku sambil menahan emosi. Aku berdzikir dalam hati agar amarahku tak meledak lagi.

"Jadi Bunda sudah tahu?' tanya suamiku balik bertanya. Aku hanya diam. Dadaku serasa sesak. Tubuhku gemetar menahan tangis yang akan tumpah.

"Maafkan ayah yang tak dapat menjaga amanah dan kepercayaan Bunda," gumam suamiku sambil menundukkan kepala.

"Itu artinya ayah sudah mengkhianati bunda. Bagi pengkhianat pasti akan ada sanksinya. Silakan ayah pilih kami atau wanita itu," ujarku tegas. Aku bersikap tegar di hadapan mas Bayu. Aku tak ingin terlihat lemah di hadapannya.

"Jangan menyuruh ayah memilih, Bunda. Ayah sangat menyayangi kalian berdua," ujar mas Bayu masih dengan suara pelan.

"Tidak ada tawar menawar lagi. Silakan ayah tentukan pilihan ayah," ujarku sambil bangkit dan berlalu dari hadapan mas Bayu.

Aku masuk ke toilet yang ada di kamar. Pecah sudah tangis yang sejak tadi kutahan-tahan. Seluruh tubuhku lemas dan gemetar. Saat aku melangkahkan kakiku, tiba-tiba aku terpeleset. Kepalaku terbentur di lantai kamar mandi dan menimbulkan suara yang cukup keras. Selintas aku mendengar suara anak-anakku mendobrak pintu kamar kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.

Ya, itu kejadian yang aku ingat saat ini. Sekarang ragaku sedang terbaring di ruang ICU. Sementara rohku berkelana di rumah sakit ini. Apakah pertanda bahwa aku sudah tiada?

Ya Allah, ijinkan hamba hidup lebih lama lagi agar bisa mendampingi anak-anakku hingga dewasa dan mapan. Aku ingin melihat mereka bahagia.

Tiba-tiba ada yang menarik tubuhku dengan keras. Kemudian tubuhku berada di putaran waktu yang sangat cepat dan mendarat di suatu tempat yang sangat asing bagiku.

Tiba-tiba aku melihat sesosok tubuh yang sangat besar dan hitam seraya membawa cemeti dari api. Tubuh makhluk yang sangat mengerikan. Dia mendekatiku dengan pelan sambil memutar-mutar cemeti api ke arahku.

Waduh, mau apa makhluk itu. Mengapa dia mendekatiku dengan cemeti api itu? Apakah dia akan memukulku dengan cemeti itu? Apa jadinya jika aku memukulku dengan cemeti itu? Pertanyaan-pertanyaan itu memberondong di benakku.

Tidak! Pergi dari hadapanku! Jauhi aku!" teriakku sekencang-kencangnya. Namun makhluk mengerikan itu terus mendekatiku. Apakah itu malaikat munkar dan nakir yang menungguku di alam kubur yang akan menanyaiku di alam ini?"

Lalu sayup-sayup aku mendengar suara Hafidz dan Anisa yang sedang membacakan ayat Al quran sambil terisak-isak. Kalau tidak salah dia membacakan surat Yasin yang biasa dibaca saat tahlil dan mendoakan orang yang sudah tiada.

Aku belum meninggal. Aku berusaha untuk bangkit apalagi makhluk jelek itu terus mendekatiku dengan cemeti api itu.

"Tolong! Tolong aku. Jangan kau pukul aku dengan cemeti api itu. Aku mohon!" teriak aku dengan keras dan suara memelas.

"Bunda! Bunda bangun!" Suara Anisa membangunkan aku sambil mengoncang-goncangkan tubuhku. Dia menangis histeris. Aku melihat dia memeluk tubuhku erat.

Ya, aku harus kembali kepada anak -- anakku. Biarlah aku berkorban demi kebahagiaan mereka. Aku ingin melihat mereka mandiri. Aku tidak boleh meninggalkan mereka terlalu cepat. Biarlah masalahku dengan mas Bayu akan kami selesaikan nanti.

Pelan-pelan aku membuka mataku kemudian menggerakan jemariku perlahan. Mas Bayu dan Hafidz duduk di samping tempat tidurku. Mereka menangis sambil memandangku yang tadi sudah tak bergerak. Anisa masih memeluk tubuhku sambil terus menangis.

"Ayah! Lihat bunda sudah siuman!" teriak Anisa tiba-tiba sambil melihat kepada mas Bayu dan kakaknya.

"Alhamdulillah! Bunda jangan tinggalkan kami, ya," ujar Hafidz sambil memelukku. Anisa pun melakukan hal yang sama. Sementara mas Bayu tersenyum ke arahku.

Beberapa suster mendekatiku. Tak lama kemudian dokter datang untuk memeriksa.

"Alhamdulillah, ibu sudah siuman. Hal itu berarti masa kritis ibu sudah lewat. Insyaallah setelah beberapa dirawat, ibu akan pulih kembali. Hasil CT Scan tidak menunjukkan ada sesuatu yang membahayakan kesehatan ibu," jelas dokter setelah selesai memeriksa.

Aku tersenyum ke arah anak-anakku. Merekalah harapanku sekarang ini. Mereka yang menyemangati aku untuk hidup kembali. Terima kasih ya ... Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun