Mohon tunggu...
Ni Komang Putri Sariani
Ni Komang Putri Sariani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis bukan sekadar hobi, tapi pelarian paling indah dari riuhnya dunia nyata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menjaga Harmoni diTengah Perbedaan: Strategi Membangun Toleransi Saat Nyepi dan Lebaran Bertepatan

17 Juli 2025   09:37 Diperbarui: 17 Juli 2025   09:37 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Indonesia adalah bangsa yang dibangun di atas fondasi keberagaman suku, budaya, bahasa, dan terutama agama. Di antara semua tantangan kebangsaan yang kita hadapi, menjaga harmoni antarumat beragama merupakan satu aspek yang paling krusial dan terus-menerus diuji oleh waktu. Tahun ini, momen unik terjadi: Hari Raya Nyepi umat Hindu bertepatan dengan Hari Raya Idulfitri umat Islam. Dua perayaan besar dengan karakteristik yang sangat berbeda ini menjadi ujian sekaligus peluang emas untuk menguatkan semangat toleransi, saling pengertian, dan kohesi sosial di tengah masyarakat majemuk.

Dua Hari Suci, Dua Tradisi yang Agung

Nyepi, hari raya umat Hindu, merupakan momen sakral untuk berdiam diri, menyucikan batin, dan menyatu dengan alam. Selama 24 jam penuh, aktivitas dihentikan: tidak ada lampu, tidak ada suara bising, tidak bepergian, dan tidak menyalakan api. Tujuan utamanya adalah introspeksi dan harmoni dengan alam semesta.

Sebaliknya, Idulfitri adalah momen kemenangan dan suka cita setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Umat Muslim merayakannya dengan silaturahmi, saling berkunjung, bertakbir, dan berbagi kebahagiaan bersama keluarga dan masyarakat. Ketika dua perayaan ini bertepatan, tentu muncul potensi gesekan jika tidak dikelola dengan baik. Namun dengan strategi dan komunikasi yang tepat, momen ini justru dapat menjadi panggung pembelajaran hidup bersama dalam keberagaman.

Strategi Membangun Toleransi saat Nyepi dan Lebaran Bertepatan

  • Pendidikan Toleransi sejak Dini

Pendidikan formal maupun nonformal harus memasukkan nilai-nilai keberagaman dan toleransi dalam kurikulumnya. Anak-anak perlu diajarkan bahwa perbedaan keyakinan adalah kekayaan budaya yang harus dihormati, bukan diseragamkan. Momentum perayaan seperti ini bisa menjadi bahan ajar nyata untuk belajar memahami cara umat lain menjalankan keyakinannya.

  • Dialog Lintas Agama di Tingkat Komunitas

Dialog bukan sekadar untuk tokoh agama, tapi juga antarwarga. Perayaan bersama ini adalah kesempatan untuk menjembatani persepsi dan menghindari salah paham. Misalnya, dengan mengadakan diskusi sebelum Nyepi dan Idulfitri, warga bisa saling berbagi harapan dan menyepakati cara saling menghormati hak masing-masing.

  • Kebijakan Lokal yang Responsif dan Inklusif

Pemerintah daerah perlu merancang kebijakan adaptif, seperti pembatasan suara takbir keliling di kawasan yang mayoritas Hindu saat Nyepi, atau menyediakan tempat ibadah sementara bagi umat Muslim yang kesulitan mengakses masjid karena pembatasan saat Nyepi. Solusi ini harus dibangun melalui musyawarah bersama, bukan keputusan sepihak.

  • Pemanfaatan Media Sosial untuk Edukasi Positif

Alih-alih menjadi ajang provokasi, media sosial seharusnya menjadi alat untuk mengedukasi publik soal nilai-nilai toleransi dan saling pengertian. Konten seperti video pendek, kutipan lintas agama, dan testimoni warga tentang hidup rukun bisa memperluas jangkauan pesan damai.

  • Peran Tokoh Agama dan Adat sebagai Penjaga Harmoni

Tokoh masyarakat memiliki pengaruh besar dalam membentuk sikap warga. Ketika mereka secara terbuka mengajak umatnya untuk menghormati hari suci umat lain, itu akan menciptakan suasana saling mendukung. Di Bali, misalnya, banyak tokoh Muslim mengimbau jamaahnya untuk beribadah dengan tenang dan tidak menggunakan pengeras suara saat Nyepi, sebagai bentuk empati lintas keyakinan.

Menjadikan Perbedaan Sebagai Anugerah

Saat Nyepi dan Idulfitri bertepatan, kita diingatkan bahwa kehidupan tidak selalu berjalan searah, namun selalu memberi ruang untuk menyelaraskan langkah dalam perbedaan. Kedua hari suci ini tidak harus saling mengganggu justru bisa saling melengkapi dan memperkaya makna keagamaan masing-masing. Toleransi bukan berarti meniadakan keyakinan diri, tapi kemampuan membuka hati untuk memahami keyakinan orang lain. Dalam konteks Indonesia, toleransi adalah jalan utama untuk menjaga persatuan, bukan sekadar pilihan.

Penutup

Perbedaan hari raya yang beririsan bukan hambatan, tetapi kesempatan belajar menjadi bangsa yang dewasa secara spiritual dan sosial. Strategi-strategi membangun toleransi bukan hanya tugas pemerintah atau tokoh agama, tapi tanggung jawab semua warga negara yang mencintai damai. Dengan dialog, empati, dan kebijakan yang berpihak pada keadilan, kita bisa menjadikan momen Nyepi dan Lebaran sebagai simbol hidup harmonis dalam kebhinekaan bukan hanya di atas kertas, tetapi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun