Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Mengapa Penggambaran Tokoh dan Penokohan 'Jeng Yah' di Film Serial Original Netflix 'Gadis Kretek' Salah?

9 April 2024   15:37 Diperbarui: 9 April 2024   15:40 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://static.promediateknologi.id/crop/0x0:0x0/0x0/webp/photo/radarpurworejo/2023/11/25-2063782367.png

Makanya saya merasa aneh ketika di dalam film Dasiyah digambarkan tidak memiliki kekuatan pada perusahaan kretek milik sang ayah (atau keluarga dalam hal ini), kretek Merdeka!. Ia bahkan dimarahi karena ikut campur di dalam ruangan khusus 'saus' untuk bahan campuran rokok kretek. Keberadaannya di ruangan itu sampai dianggap najis sehingga harus dibersihkan.

Di dalam novel, posisi perempuan di perusahaan kretek itu sangat penting dan kuat. Pertama, semua orang malah berebut ingin mencoba kretek yang dilinting langsung oleh Jeng Yang. Jeng Yah sebagai peracik saus yang handal, sangatlah diakui. Tidak hanya oleh sang ayah dan keluarga, melainkan para konsumen. Tidak ada tabu atau larangan dalam hal ini. Para pekerja pembuat kretek juga mbok-mbok. Selain itu, rokok kretek yang digambarkan di novel melambangkan kesetaraan gender, katakan saja genderless. Di film, kepentingan visual malah mendgradasi simbol kesetaraan yang sudah dibuat di dalam novel.

Maksudnya begini. Di novel, semua orang merokok kretek (atau tingwe, atau klobot menyan), laki-laki maupun perempuan. Sudah menjadi budaya, dan tidak ada masalah apapun disana. Di dalam film, pengambilan gambar ketika perempuan merokok (kebanyakan memang Jeng Yah), kesan lain akan muncul. Misalnya perempuan itu sebagai sosok pemberontak, pemberani, dan sebagainya. Ini membuat rokok kretek dikembalikan ke citra awal: maskulin.

Sang sutradara nampaknya berjuang keras untuk menunjukkan sisi kekuatan seorang perempuan. Ini sama sekali tidak salah. Tetapi, terlihat sekali tokoh Jeng Yah tertatih-tatih. Di dalam novel, kekuatan Jeng Yah sudah terlihat dari awal. Bukan sebagai semata-mata sebagai perempuan, melainkan sebagai seorang tokoh, yang melintasi garis-garis batasan gender.

Lihat ketika Dasiyah di dalam novel akhirnya bercinta (berhubungan seksual) dengan Soeraja. Ini terjadi ketika Dasiyah sudah bertunangan dan mereka melakukannya tanpa hubungan suami istri. Adegan ini mungkin sekali ditujukan untuk menggambarkan penokohan Dasiyah yang berani, melawan arus, dan pemberontak. Namun, adegan merokok setelah percintaan, malah gagal menunjukkan itu. Dasiyah 'dirusak' menjadi gambaran tipikal perempuan binal dan nakal, dimana sebenarnya untuk menggambarkan kekuatan dan kekuasaan seorang perempuan, banyak cara yang bisa dilakukan.

Cara novel Gadis Kretek memperlakukan Jeng Yah dan semua tokohnya sangat santai dan tanpa beban. Walaupun sang penulis adalah seorang perempuan, ia tidak terlihat berusaha mati-matian mencarikan pembenaran dan pembelaan kepada tokoh utamanya itu. Alam dan masyarakat Jawa fiksi di dalam novel bukanlah musuh sang tokoh utama (Me against the World), melainkan penyokong jalan cerita. Di dalam film, untuk memperkuat tokoh perempuan sekaligus tokoh utamanya, sang sutradara malah menghancurkannya dan membebaninya dengan masalah-masalah tipikal yang sejatinya mungkin tidak selalu tepat.

Novel Gadis Kretek malah sebenarnya sudah mampu memberikan semacam perspektif lain dari kehidupan sosial yang kita hadapi saat ini, yang meskipun fiksi, tetap saja kadang-kadang bersifat sebagai cermin. Ratih Kumala menghindari stereotip perempuan Jawa yang lemah dan tunduk pada dunia patriarkal, sekaligus memberikan gambaran dunia Jawa yang juga tidak melulu patriarkal.

Contoh saja di buku 'Perempuan-Perempuan Perkasa di Abad XVIII-XIX' oleh Peter Carey, yang diterbitkan tahun 1986 (terus dicetak ulang sampai tahun 2023). Di dalam buku itu, Carey menjelaskan banyak sekali tokoh perempuan priayi atau keraton yang memegang kekuasaan besar dalam bidang bisnis, politik, bahkan militer. Ini juga diakui secara 'budaya' oleh orang-orang Jawa di masa lalu yang kerap dianggap melulu dikuasai laki-laki.

Novel Gadis Kretek menunjukkan bahwa kesetaraan gender itu wajar dan sangat mungkin, bahkan di masa lalu, di budaya Jawa pula. Sedangkan versi filmnya, kembali merusak perspektif ini, membawa tokoh Jeng Yah menjadi jenis gadis tradisional yang melawan dunia laki-laki. Itu sebabnya saya merasa bahwa film serti Netflix Gadis Kretek (tanpa mengurangi apresiasi dan rasa hormat) gagal menggambarkan tokoh dan penokohan Dasiyah alias Jeng Yah tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun