Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Diversi Agresi

5 September 2025   06:58 Diperbarui: 5 September 2025   06:58 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cara kedua adalah mengalihkan kekerasan dan konlfik itu ke dalam lembaga perwakilan. Para wakil kita berkelahi dengan mulut, berdebat, berdiskusi menemukan cara terbaik untuk mendistribuskan nilai-nilai di atas lewat consensus politik secara damai. Konsensus itu tercermin dalam kebijakan, peraturan, undang-undaang atau institusi lainnya. Sayangnya fungsi ini tidak berjalan maksimal.

Alih-alih peka terhadap frustrasi social, artis-artis yang masuk DPR mengubah senayan menjadi panggung theater atau layar telivisi. Sebelumnya menari dan menyanyi di ruang tevelisi, youtube, tiktok. Sekarang menari di ruang gedung parlemen. Televisisasi atau Tiktokisasi ruang parlemen, berjalan bersamaan dengan kehadiran negara festival. Negara hadir dalam bentuk pertunjukan-pertunjukan megah, music, seragam warna warni, bendera, umbul-umbul di tengah 'everyday struggle' yang dihadapi rakyat kecil.

Ketika para artis-DPR lalu menari saat pemerintah mengumumkan kenaikan tunjangan DPR, mekanisme perbandingan yang menyakitkan bekerja. Perbandingan ini mengisi ruang deprivasi yang melebar di antara harapan yang membubung dan realitas pemenuhan harapan-harapan itu.

Hasil adalah demonstrasi luas, yang kemudian berubah menjadi ekspresi kemarahan dengan merusak. Negara dan perkakas apparatus terlalu kuat, pagar DPR juga makin tinggi dan berlapis. Kekerasan sebagai manifestasi frustrasi, didiversi. Halte dibakar, mobil polisi dibakar, rumah-rumah anggota DPR dan pejabat, yang anehnya tak dijaga, juga dijarah.

Terlepas dari ada tidaknya otak kotor di balik perusakan dan pembakaran fasilitas public, otoritas republic ini perlu memahami bahwa itu adalah bentuk diversi dari agresi dan kekerasan. Akarnya adalah frustrasi social. Repson terhadap demontrasi dan korban menunjukkan bahwa pemerintah tidak mau paham terhadap ketidakpuasan rakyat. Alih-alih mendengar tuntutan, para demonstran dicap sebagai 'anarki', 'teroris' dan label negatif lain.

Ini adalah bentuk tindak tutur di mana hahasa dipakai untuk menciptakan situasi emergensi. Demonstrasi ditransformasi menjadi masalah 'anarki' 'keamanan nasional'. Proses yang disebut sebagai sekuritisasi, yakni mengubah isu public menjadi 'keamanan'. Demonstrasi lalu diframing sebagai ancaman eksistensial terhadap ketertiban public dan keamanan nasional. Indonesia akan runtuh oleh demonstrasi dan karena itu langkah ekstraordinari harus ditempuh. Korban pun berjatuhan, baik di pihak demonstran maupun apparat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun