Diversi Agresi
Pernahkan anda mau melawan Bapak anda tetapi tidak berani? Apalagi melawan Ibu. Karena katanya kalau Ibu Mertua adalah 'Mother in Law', maka Ibu adalah 'Mother is the law'. Ketika tidak berani, anda mungkin menggerundel. Tetapi ada cara lain, mengomeli adik anda yang tidak bersalah. Atau memukuli batang atau pohon pisang. Dua-duanya tak bersalah.
Cara kedua ini disebut agression diversion (pengalihan agresi). Dalam perspektif psikolog, agresi adalah perilaku, berbentuk fisik atau verbal, untuk melukai atau menimbulkan kerusakan pada orang, obyek atau properti. Agresi berbeda dengan kemarahan yang merupakan emosi. Agresi adalah ekspresi kemarahan dalam bentuk tindakan kekerasan pada pihak lain.
Relasi kuasa bekerja dalam diversi agresi. Ketika sasaran agresi lebih kuat, diversi dilakukan dengan melakukan kekerasan pada orang lain yang lebih lemah, binatang atau properti. Dalam bentuk positif, strategi pelarian diri dipakai. Pergi dari rumah atau lari keliling lapangan 10 kali.
Demonstrasi dengan tindakan pengrusakan dapat dilihat sebagai bentuk pengalihan agres. Rakyat yang marah tentu tidak dapat melawan secara langsung 'omnipotent state; (negara maha kuasa) yang hadir dalam apparatus bersenjata. Obyek properti, privat maupun publik, menjadi sasaran diversi agresi.
Kemarahan yang meluas berakar dari ketidakpuasan social akibat perbandingan yang menyakitkan. Sama-sama berjuang, sekolah, kerja siang malam tapi jarak kemakmuran antara rakyat dan elit makin jauh.
Pemilu adalah sebuah bentuk investasi politik. Rakyat menginvestasikan suara pada para kandidat anggota parlemen dengan harapan memperoleh keuntungan dalam bentuk 'akomodasi aspirasi', 'kebijakan kesejahteran dan keadilan', 'kemudahan lapangan kerja' dll.
Investasi ini dilakukan melalui demokrasi multi partai. sistem yang membubungkan harapan-harapan akan terpenuhinya keuntungan investasi politik di atas. DPR sebagai represesentasi rakyat diharapkan menjadi 'jembatan' yang menghubungkan harapan-harapan itu dengan realitas kebijakan. Dan itu tidak terjadi.
Dalam kondisi normal, representasi politik melalui parlemen adalah bentuk diversi agresi. Warga negara membutuhkan berbagai macam nilai untuk hidup bermartabat. Pendidikan, pekerjaan, sandang, pangan, Kesehatan, energi, keadilan, rasa aman adalah nilai-nilai itu.
Distribusi adil nilai-nilai ini bisa dilakukan dengan dua cara. Kita menggunakan mekanisme agresi, berkelahi di jalan-jalan, di ruang kota-desa untuk memperebutkannya dengan menggunakan kekerasan.
Cara kedua adalah mengalihkan kekerasan dan konlfik itu ke dalam lembaga perwakilan. Para wakil kita berkelahi dengan mulut, berdebat, berdiskusi menemukan cara terbaik untuk mendistribuskan nilai-nilai di atas lewat consensus politik secara damai. Konsensus itu tercermin dalam kebijakan, peraturan, undang-undaang atau institusi lainnya. Sayangnya fungsi ini tidak berjalan maksimal.
Alih-alih peka terhadap frustrasi social, artis-artis yang masuk DPR mengubah senayan menjadi panggung theater atau layar telivisi. Sebelumnya menari dan menyanyi di ruang tevelisi, youtube, tiktok. Sekarang menari di ruang gedung parlemen. Televisisasi atau Tiktokisasi ruang parlemen, berjalan bersamaan dengan kehadiran negara festival. Negara hadir dalam bentuk pertunjukan-pertunjukan megah, music, seragam warna warni, bendera, umbul-umbul di tengah 'everyday struggle' yang dihadapi rakyat kecil.
Ketika para artis-DPR lalu menari saat pemerintah mengumumkan kenaikan tunjangan DPR, mekanisme perbandingan yang menyakitkan bekerja. Perbandingan ini mengisi ruang deprivasi yang melebar di antara harapan yang membubung dan realitas pemenuhan harapan-harapan itu.
Hasil adalah demonstrasi luas, yang kemudian berubah menjadi ekspresi kemarahan dengan merusak. Negara dan perkakas apparatus terlalu kuat, pagar DPR juga makin tinggi dan berlapis. Kekerasan sebagai manifestasi frustrasi, didiversi. Halte dibakar, mobil polisi dibakar, rumah-rumah anggota DPR dan pejabat, yang anehnya tak dijaga, juga dijarah.
Terlepas dari ada tidaknya otak kotor di balik perusakan dan pembakaran fasilitas public, otoritas republic ini perlu memahami bahwa itu adalah bentuk diversi dari agresi dan kekerasan. Akarnya adalah frustrasi social. Repson terhadap demontrasi dan korban menunjukkan bahwa pemerintah tidak mau paham terhadap ketidakpuasan rakyat. Alih-alih mendengar tuntutan, para demonstran dicap sebagai 'anarki', 'teroris' dan label negatif lain.
Ini adalah bentuk tindak tutur di mana hahasa dipakai untuk menciptakan situasi emergensi. Demonstrasi ditransformasi menjadi masalah 'anarki' 'keamanan nasional'. Proses yang disebut sebagai sekuritisasi, yakni mengubah isu public menjadi 'keamanan'. Demonstrasi lalu diframing sebagai ancaman eksistensial terhadap ketertiban public dan keamanan nasional. Indonesia akan runtuh oleh demonstrasi dan karena itu langkah ekstraordinari harus ditempuh. Korban pun berjatuhan, baik di pihak demonstran maupun apparat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI