Iran, Australia dan Bayang-Bayang Agresi Ideologis
Langkah mengejutkan diambil pemerintah Australia pada akhir Agustus 2025: menutup Kedutaan Besar Iran di Canberra, mengusir Duta Besar Ahmad Sadeghi beserta tiga pejabat lainnya, sekaligus menetapkan Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) sebagai organisasi teroris. Tindakan ini merupakan tonggak sejarah diplomasi Negeri Kanguru. Sejak Perang Dunia II, Australia dikenal lebih mengedepankan perdagangan, hubungan ekonomi, dan pergaulan internasional yang damai. Bahkan Korea Utara yang tertutup masih memiliki jalur diplomatik dengan Canberra. Karena itu, keputusan Perdana Menteri Anthony Albanese jelas bukan kebijakan rutin, melainkan reaksi terhadap eskalasi yang dianggap sangat serius.
Pemicu kebijakan ini adalah bukti intelijen yang diyakini kredibel oleh aparat keamanan Australia. Laporan-laporan menunjukkan keterlibatan langsung Iran dalam serangkaian serangan terhadap komunitas Yahudi di Australia pada tahun 2024. Di antaranya, aksi pembakaran sebuah restoran kosher di Sydney pada bulan Oktober, dan serangan serupa di Sinagoga Adass Israel di Melbourne pada bulan Desember. Bagi publik Australia yang plural dan modern, insiden ini memang terlihat "amatiran." Tetapi bagi pengamat aktivitas IRGC di luar negeri, pola itu tidak asing : operasi dilakukan lewat jaringan kriminal, preman lokal, kartel narkoba, bahkan pencuri kelas teri, dengan target utama komunitas Yahudi atau aset yang terkait Israel.
Agresi Luar Negeri : Pola Lama dengan Wajah Baru
Arash Azizi dalam The Atlantic menggarisbawahi bahwa strategi Iran di luar negeri hampir selalu bersandar pada taktik asimetris. Mereka tidak mengincar target militer kelas berat, melainkan komunitas sipil yang lebih rentan. Insiden paling mengerikan yang sering disebut adalah pengeboman pusat komunitas Yahudi di Buenos Aires tahun 1994. Sebanyak 85 orang tewas, menjadikannya serangan teror paling mematikan dalam sejarah Argentina. Dua dekade lebih kemudian, pola serupa kembali terlihat di berbagai belahan dunia: Afrika Selatan, Kenya, Siprus, Sri Lanka, Turki, Jerman, Belanda, hingga Swedia. Sebagian besar rencana ini gagal, tetapi esensinya tetap sama - membangun atmosfer teror dan mengintimidasi komunitas Yahudi global.
Â
Pertanyaannya: mengapa rezim Iran bersikeras menanggung risiko politik dan diplomatik demi serangan yang dieksekusi secara buruk? Jawabannya ada pada dinamika internal Republik Islam. Ada faksi garis keras yang menolak kompromi dengan Barat, menjunjung tinggi ideologi anti-Zionisme, dan memposisikan Iran sebagai pelopor "jihad global" melawan Israel. Di sisi lain, ada kelompok pragmatis yang lebih peduli pada ekonomi dan perdagangan, serta membuka jalur diplomasi dengan dunia Barat. Serangan di Sydney dan Melbourne bisa dibaca sebagai upaya faksi garis keras untuk menekan, bahkan menggagalkan agenda diplomatik kaum pragmatis. Dengan mengguncang komunitas Yahudi di Australia, mereka sekaligus merusak hubungan Iran dengan Canberra dan dunia Anglo-Saxon.
Australia Menemukan Ketegasannya
Dalam konteks ini, respons Australia patut dicatat. Selama bertahun-tahun, diaspora Iran di Australia melaporkan adanya pengawasan, ancaman, hingga intimidasi dari agen-agen Republik Islam. Kylie Moore-Gilbert, akademisi Australia yang pernah ditahan di Iran, mengkonfirmasi banyak warga keturunan Iran di Negeri Kanguru hidup dalam ketakutan. Namun, pemerintah Australia terkesan lamban merespons, sampai akhirnya insiden 2024 memaksa mereka bertindak tegas.
Keputusan Albanese menutup Kedutaan Iran sekaligus mengusir diplomatnya adalah sinyal Australia tidak lagi bersedia menjadi arena permainan intelijen Teheran. Lebih dari itu, penetapan IRGC sebagai organisasi teroris menempatkan Canberra dalam barisan negara-negara Barat yang menolak legitimasi lembaga militer paling berpengaruh di Iran. Langkah ini disambut positif oleh komunitas Yahudi dan kelompok oposisi Iran di Australia. Partai Republik Australia Iran, misalnya, memuji tindakan pemerintah karena dianggap meningkatkan keamanan publik.