Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tentang Greenflation dan Keadilan Transisi

22 Januari 2024   21:47 Diperbarui: 24 Januari 2024   11:05 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ekonomi hijau. (Sumber: SHUTTERSTOCK/U-STUDIOGRAPHY DD59 via kompas.com)

Skala ekonomis beberapa pembangkit EBT jauh lebih rendah dibanding pembangkit  fosil. Skala ekon0mis berhubungan seberapa besar pertambahan produksi sebagai dampak investasi untuk penambahan satu satuan input. Semakin sedikit ongkos investasi dan input, semakin makin besar jumlah produksi dan keuntungan, semakin ekonomis sebuah investasi.

Dalam pembangkit EBT, seberapa besar energi yang dihasilkan dan keuntungan yang diperoleh sebagai dampak dari setiap penambahan unit atau jumlah pembangkit. 

Kalkulasi Ismail Nur Hidayat (https://id.quora.com) menyimpulkan bahwa untuk membangun pembangkit batubara  100 MW, dibutuhkan lahan seluas 125.000 m2 lahan. Sedangkan untuk pembangkit surya membutuhkan ruang lahan atau atap sebesar 200.000 meter persegi.

Jika dalam bentuk lahan, pembangkit surya berskala besar di perkotaan akan jauh lebih mahal karena harga lahan sangat tinggi. Pembangunan pembangkit  skala besar di luar Jawa lebih murah karena biaya lahan murah. Masalahnya adalah tingkat permintaan rendah karena jumlah penduduk sedikit.  

Selain itu, energi surya dan juga juga angin yang intermiten (tidak stabil) sepanjang hari karena bergantung pada perubahan sinar matahari dan kecepatan angin. Untuk bisa stabil, dua energi ini  membutuhkan pembangunan teknologi penyimpanan, dalam bentuk baterai,  yang membuat total investasi menjadi jauh lebih mahal

Produksi energi terbarukan memiliki biaya oportunitas yang besar. Ini adalah hilangnya kesempatan untuk memproduksi barang lain  demi menghasilkan energi terbarukan. 

Dengan kata lain, hal yang dikorbankan demi memproduksi energi terbarukan. Upaya menghasilkan bioetanol berbasis jagung,  harus menghilangkan kesempatan untuk menggunakan jagung sebagai bahan pangan.

Untuk menghasilkan biosolar dari CPO, kita harus mengorbankan kesempatan memanfaatkan minyak sawit sebagai  bahan minyak goreng. 

Untuk membuka lahan sawit kita kehilangan kesempatan untuk mempertahakan hutan yang memproduksi oksigen, biodiversitas  dan obat-obatan berbasis tumbuhan. Penggunaan bahan pangan sebagai sumber energi juga dapat menciptakan kelangkaan yang mendorong inflasi.

Pada sisi permintaan, penyesuaian jenis teknologi, misalnya modifikasi mesin juga ikut menaikkan biaya transisi ke energi hijau. Jika seluruh mode produksi industri berbasis energi fosil diganti dengan energi terbarukan, biaya penyesuaian juga tidak sedikit. 

Akibatnya seluruh proses 'hijaunisasi, dengan tujuan 'dekabornisasi' menyebabkan naiknya harga-harga. Kenaikan harga-harga pada sisi produksi energi akan diterjemahkan ke dalam kenaikan harga-harga di sisi permintaan. Harga Sembako yang diproduksi dengan energi hijau juga akan ikut mengalami kenaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun